Minggu, 19 Maret 2017

EKSISTENSI DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI WILAYAH  TURKI-UTSMANI
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah SPI II



Disusun oleh :
Kelompok 2
Janzani Nasri A                      (11550100)
M. Sani Saaddudin                (11550100)
Muhammad Irham                 (11550100)
Moch. Fajarudin Maskuri        (11550100)
Moh. Ismail                             (11550100)

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016 M/1437 H


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sejak mundur dan berakhirnya era Abbasiyah, keadaan politik umat Islam mengalami masa suram. Kemajuan di Dunia Islam kembali terwujud berkat tiga kerajaan besar, atau yang disebut Gunpowder Empires oleh Hodgson: Kesultanan Utsmaniyah di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India. Dari ketiganya, Turki-Utsmani atau Ottoman Empire adalah yang terbesar dan terlama. Dengan wilayahnya yang luas membentang dari Afrika Utara, Jazirah Arab, Balkan, Anatolia, hingga Irak ; dengan menyimpan keberagaman bangsa, bahasa, budaya dan agama, Turki-Utsmani mampu berkuasa selama kurang lebih 6 abad berturut-turut. Tentunya hal ini tergolong luar biasa.
Kesultanan lintas benua ini didirikan oleh orang-orang Turki dibawah pimpinan Utsman bin Ertugrul pada 1299 M. Seiring penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad II pada tahun 1453 M, negara ini menjadi kekuatan yang disegani di Barat dan Timur.
Sepanjang Abad ke-16 dan 17, tepatnya pada masa pemerintahan Sulaiman I, Kesultanan Utsmaniyah adalah salah satu negara terkuat di dunia, sebuah imperium multibangsa dan multibahasa yang mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Jazirah Arab, Kaukasus, Afrika Utara, dan Irak. Tentunya hal ini tergolong sangat luar biasa.
Walaupun sangat sering mengurusi militer dan peperangan-peperangan, para Sultan Turki-Utsmani ternyata tetap memperhatikan perkembangan seni, seperti terlihat di bidang arsitektur, seni lukis, dan sastra.
Ekonomi berkembang pesat di masa Turki-Utsmani. Begitu juga agama Islam, apalagi bidang Tasawuf, terjadi pertumbuhan signifikan. Para pejabat dan tentara biasanya bergabung pada satu tarekat tertentu, seperti Naqsybandiyah atau Bektasyiyah, atau lebih.
Sepertinya hanya dunia intelektual yang terdengar sepi. Sains di Dunia Islam memang menurun drastis pasca kehancuran Baghdad di tangan Bangsa Mongol pada tahun 1258. Tetapi ini bukan berarti sains mati di masa Turki-Utsmani.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai tentunya tidak bisa dilepaskan dari faktor keistimewaan Bangsa Turki itu sendiri. Semangat jihad dan dakwah yang membara menjadi resep andalan mereka.

1.2 Rumusan Masalah
A.    Bagaimana proses pembentukan Kesultanan Turki-Utsmani?
B.     Bagaimana perkembangan pemerintahan dan militer di masa Turki-Utsmani?
C.     Bagaimana perkembangan seni di masa Turki-Utsmani?
D.    Bagaimana perkembangan intelektual di masa Turki-Usmani?
E.     Bagaimana perkembangan tasawuf di masa Turki-Utsmani?
F.      Apa penyebab kemajuan Kesultanan Turki-Utsmani?

1.3 Tujuan
A.    Memahami proses pembentukan Kesultanan Turki-Utsmani.
B.     Memahami perkembangan pemerintahan dan militer di masa Turki-Utsmani.
C.     Memahami perkembangan seni di masa Turki-Utsmani.
D.    Memahami perkembangan intelektual di masa Turki-Usmani.
E.     Memahami perkembangan tasawuf di masa Turki-Utsmani.
F.      Mengetahui penyebab kemajuan Kesultanan Turki-Utsmani.



BAB II PEMBAHASAN

2.1 Proses Pembentukan Kesultanan Turki-Utsmani
Seiring dengan kejatuhan Kesultanan Saljuk Romawi, Asia Kecil atau Anatolia terpecah menjadi negeri-negeri independen kecil atau Beylik. Memasuki Abad ke-14, Kerajaan Byzantium harus merelakan banyak wilayahnya di Anatolia jatuh ke tangan orang-orang Turki.
Kesultanan Utsmaniyah atau Devlet-i Aliyye-yi Osmaniyye, kadang ditulis Kesultanan Ottoman atau Turki-Usmani, dinisbatkan pada nama Utsman bin Ertugrul yang lahir pada tahun 1258 M.[1] kesultanan ini dibangun oleh bangsa Turki dari Kabilah Oghus, yang mendiami daerah utara Cina, kemudian pindah ke Turkistan, lalu ke tanah Persia sekitar abad ke-9 dan 10 M.
Sekitar Abad ke-13 M, Ertugrul bersama kabilahnya pergi ke Anatolia yang saat itu berada dibawah kekuasaan Sultan Alaudin II. Ertugrul membantunya melawan serangan dari Byzantium. Ertugrul menang dan Alauddin memberinya kuasa atas sebagian wilayah di Anatolia yang berbatasan dengan Byzantium.
Ertugrul meninggal dunia pada tahun 1289 M. kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Utsman (1281-1324 M), atas persetujuan Alauddin. Pada tahun 1300, bangsa Mongol Menyerang Kerajaan Alauddin, dan wilayahnya terpecah-pecah menjadi beberapa dinasti kecil. Ditengah kondisi inilah, Utsman mengklaim kemerdekaan secara penuh atas wilayah yang didudukinya, sekaligus memproklamirkan berdirinya Kerajaan Turki-Usmani, dengan ibukota Dorylaeum (kini Yenisehir).
Setelah Utsman menyatakan dirinya sebagai raja pada tahun 699 H/1299 M, secara bertahap ia memperluas wilayahnya. Penyerangan awal dilakukan di sekitar daerah perbatasan Byzantium. Pada tahun 1317 M, wilayah Bursa dapat dikuasai. Pada tahun 1324 M Utsman bin Ertugrul meninggal dunia dan dimakamkan di Bursa, kota yang di kemudian hari menjadi pemakaman keluarga Utsmani.[2]

2.2 Perkembangan Pemerintahan dan Militer di Masa Kesultanan Turki-Utsmani
Diakhir hidupnya, Utsman menunjuk Orhan atau Orhan I, anak yang lebih muda dari kedua putranya sebagai pemimpin kerajaan selanjutnya. Sebelumnya, Orhan I telah banyak membantu perjuangan ayahnya. Program Orhan I setelah penobatannya menjadi raja pada tahun 1324 M ialah pemindahan ibukota kerajaan ke Bursa, lalu penaklukan kota Nicea (kini Iznik) dan Nikomedia. Nicea menyerah pada tahun 1327 M dan Nikomedia takluk pada tahun 1338 M.
Orhan I membentuk satuan tentara elit yang diberi nama Inkisyariyah atau Yanisari. Yanisari adalah salah balatentara infantri paling terlatih, yang merupakan inti pasukan.[3] Di zaman inilah untuk pertama kalinya dipergunakan senjata meriam bermesiu.
Pengganti Sultan Orhan I, pada tahun 1359 M, adalah Sultan Murad I. Selain memantapkan keamanan di dalam negerinya, Murad juga meneruskan perjuangan para pendahulunya dengan menaklukan beberapa daerah di Benua Eropa. Ia menaklukan Adrianopel (kini Edirne), yang kemudian dijadikan sebagai ibukota kerajaan setelah 1366 M, dengan pasukan berkuda. Ia kemudian menaklukan Makedonia, Bulgaria, dan bagian utara Yunani.
Karena banyaknya kota-kota yang ditaklukkan oleh Murad I, pada waktu itu bangsa Eropa mulai cemas. Akhirnya raja-raja Kristen Balkan meminta bantuan Paus untuk mengusir kaum muslimin dari daratan Eropa. Maka terjadilah peperangan antara pasukan Turki-Islam dan Kristen-Eropa pada tahun 1362 M. Peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Murad I, sehingga Balkan jatuh ke tangan umat Islam. Selanjutnya pasukan Murad I dengan pelan tapi pasti menguasai Eropa Tenggara.
Sultan Bayazid I, yang memerintah antara 1389-1403 M, adalah putra dari Murad I. Penaklukan Kosovo pada 1389 M, yang merenggut nyawa Murad I, menghilangkan pengaruh Serbia di Balkan. Bayazid juga berhasil menghalau gempuran Pasukan Salib dalam Perang Nikopolis, pada 1396 M.
Namun pada peperangan melawan Timur Lenk di Ankara, Bayazid mengalami kekalahan. Ia bersama putranya Musa tertawan hingga wafat dalam tahanan Timur Lenk pada tahun 1403 M.
Kekalahan Bayazid di Ankara itu membawa akibat buruk bagi Turki-Usmani, sehingga penguasa-penguasa Anatolia satu persatu melepaskan diri. Hal ini menyebabkan perang saudara diantara anak-anak Bayazid antara 1402 hingga 1413 M. Perang saudara terhenti setelah Muhammad I menyatakan diri sebagai sultan dan mengembalikan kekuatan Dinasti Turki-Usmani, yaitu dengan menyusun pemerintahan, memperkuat tentara dan memperbaiki kehidupan masyarakat. Muhammad I berhasil menyerang Serbia dan Qaraman.[4] Setelah memerintah dengan penuh kebijaksaan, pada tahun 824 H (1421 M) Sultan Muhammad I meninggal.
Sepeninggal Sultan Muhammad I, pemerintahan diambil alih oleh Sultan Murad II, masa yang penuh pemberontakan. Cita-cita Murad adalah melanjutkan usaha perjuangan Muhammad I, dibantu putranya yang bernama Muhammad juga. Muhammad inilah yang mewarisi tahta Murad II pada tahun 1451 M.
Muhammad II mendapat gelar al-Fatih setelah menaklukan Konstantinopel, yang kemudian berganti nama menjadi Islambol (kini Istanbul), pada tahun 1453 M. Peristiwa ini mengukuhkan status Kesultanan Utsmaniyah sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara sekaligus Mediterania Timur. Sultan Muhammad II wafat pada 3 Mei 1481 di Otranto, Italia.
Pada masa putra Sultan al-Fatih, Bayazid II, penaklukan dalam skala besar terhenti.[5] lebih cendurung berdamai dengan musuh dan mementingkan kehidupan tasawuf, sehingga mengundurkan diri pada 1512 M. Maka ia pun digantikan oleh putranya Sultan Salim I yang mempunyai kecakapan dalam memerintah dan ahli dalam strategi perang. Sultan Salim I menggerakkan pasukannya ke Iraq sehingga berhasil memukul mundur pasukan Syah Ismail dari Dinasti Safawiyah dalam Perang Chaldiran pada 1514 M. Salim I bersama pasukannya kemudian menaklukan Mesir, dan membentuk kekuatan angkatan laut di Laut Merah. Semenjak penaklukan ini, para sultan Turki-Usmani juga menjabat khalifah, dengan Sultan Salim I sebagai khalifah pertama. Semenjak masa Salim juga Kesultanan Utsmaniyah terlibat persaingan dengan Portugis dalam urusan perdagangan di Samudera Hindia.
Masa kejayaan Kesultanan Utsmaniyah berlangsung ketika pemerintahan pewaris Salim I, Sultan Sulaiman I (1520-1566 M). Pasukan Sulaiman menduduki Belgrade (kini Beograd) pada 1521, kemudian menyerang Wina pada 1529, tetapi gagal karena musim dingin. Di tahun 1532 ia kembali menyerang Wina, tetapi hasilnya tetap sama. Selama rezim Sulaiman, Wallachia, Transylvania, Kepulauan Rhodes, dan Moldova berada dibawah kuasa Turki-Usmani. Di sebelah timur, tentara Turki-Usmani merebut Baghdad dari Safawiyah pada tahun 1535 M, menguasai Mesopotamia, dan mendapatkan akses ke Teluk Persia. Pada tahun 1536 M, Sulaiman I dan Raja Francis I dari Prancis membentuk aliansi.[6]
Pada tahun 1559, setelah berperang melawan Portugis, Kesultanan Utsmaniyah menganeksasi Kesultanan Adal yang lemah ke dalam wilayahnya. Ekspansi ini mengawali pemerintahan Turki-Usmani di Somalia dan Tanduk Afrika.
Sultan Sulaiman digelari al-Qanuni karena jasanya dalam mengkaji dan menyusun kembali sistem undang-undang Kesultanan Utsmaniyah dan pelaksanaannya secara teratur serta tanpa kompromi menurut keadaan masyarakat di wilayah Turki-Utsmani yang saat itu mempunyai latar belakang agama dan sosial-budaya yang berbeda-beda.[7] Pergaulan antar bangsa yang mendiami wilayah Turki-Utsmani menimbulkan sempat beberapa konflik kecil yang dapat kapanpun membesar. Hal ini menyebabkan Sulaiman I menyusun dan mengkaji budaya masyarakat Turki-Utsmani yang berasal dari Eropa, Persia, Afrika, Kurdi, dan Arab untuk disesuaikan dengan syariat Islam. Sulaiman adalah seorang Sultan yang saleh, ia mewajibkan rakyat muslim untuk salat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadhan. Sulaiman juga berhasil menerjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Turki.
Struktur militer dan birokrasi yang efektif pada masa-masa awal terancam hancur ketika sultan-sultan sepeninggal Sultan Sulaiman I tidak tegas memimpin. Sulaiman I  juga merupakan sultan terakhir yang memimpin pasukan secara langsung di medan perang.[8] Kesultanan Utsmaniyah perlahan dikalahkan bangsa Eropa dari segi teknologi militer karena budaya inovasi yang tumbuh subur di Eropa. Meski mengalami kesulitan, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansionis besar sampai Pertempuran Wina tahun 1683 M yang menandakan akhir ekspansi Utsmaniyah ke Eropa. Penemuan rute dagang laut baru oleh negara-negara Eropa Barat memungkinkan mereka menghindari monopoli dagang Turki-Utsmani.
Kesultanan Utsmaniyah mengalami jatuh-bangun yang dimulai dari berdirinya pada tahun 1299 dan berakhir dengan kudeta pada tahun 1922. Adapun masa kebangkitan sampai keruntuhan Turki-Usmani dapat dibagi menjadi 5 periode:
1.      Periode kebangkitan (1299–1453 M)
2.      Periode perkembangan dan masa keemasan (1453–1683 M)
3.      Periode stagnasi dan banyaknya pemberontakan (1683–1827 M)
4.      Periode kemunduran dan modernisasi (1828–1908 M)
5.      Periode kekalahan dan keruntuhan (1908–1922 M)[9]

Daftar sultan-sultan Utsmaniyah:
Nomor
Nama
Periode
1
Sultan Gazi Utsman I
1299-1324 M
2
Sultan Gazi Orhan I
1324-1359 M
3
Sultan Hüdavendigar Murad I
1359-1389 M
4
Sultan Yıldırım Bayazid I
1389-1403 M
5
Sultan Muhammad I
1413-1421 M
6
Sultan Koca Murad II
1421-1444 M
7
Sultan Muhammad II
1444-1446 M
6
Sultan Koca Murad II
1446-1451 M
7
Sultan al-Fatih Muhammad II
1451-1481 M
8
Sultan Veli Bayazid II
1481-1521 M
9
Sultan Yavuz Salim I
1521-1520 M
10
Sultan al-Qanuni Sulaiman I
1520-1566 M
11
Sultan Sari Salim II
1566-1574 M
12
Sultan Murad III
1574-1595 M
13
Sultan Muhammad III
1595-1603 M
14
Sultan Bakhti Ahmad I
1603-1617 M
15
Sultan Deli Mustafa I
1617-1623 M
16
Sultan Genç Utsman II
1617-1622 M
15
Sultan Deli Mustafa I
1622-1623 M
17
Sultan Murad IV
1623-1640 M
18
Sultan Ibrahim
1640-1648 M
19
Sultan Avcı Muhammad IV
1648-1687 M
20
Sultan Sulaiman II
1687-1691 M
21
Sultan Khan Gazi Ahmad II
1691-1695 M
22
Sultan Mustafa II
1695-1703 M
23
Sultan Ahmad III
1703-1730 M
24
Sultan Kambur Mahmud I
1730-1754 M
25
Sultan Sofu Utsman III
1754-1757 M
26
Sultan Yenilikçi Mustafa III
1757-1774 M
27
Sultan Abdul Hamid I
1774-1789 M
28
Sultan Bestekar Salim III
1789-1807 M
29
Sultan Mustafa IV
1807-1808 M
30
Sultan Islahatçı Mahmud II
1808-1839 M
31
Sultan Tanzimatçi Abdul Majid
1839-1861 M
32
Sultan Abdul Aziz
1861-1876 M
33
Sultan Murad V
1876 M (83 hari)
34
Sultan Ulu Khan Abdul Hamid II
1876-1909 M
35
Sultan Reşad Muhammad V
1909-1918 M
36
Sultan Vahidüddin Muhammad VI
1918-1922 M[10]

Gambar 1 Peta Wilayah Administratif Kesultanan Turki-Utsmani



2.3 Perkembangan Seni di Masa Kesultanan Turki-Utsmani
2.3.1 Sastra
Dua aliran utama sastra tulis Turki-Utsmani adalah syair dan prosa. Syair merupakan aliran yang dominan. Sampai abad ke-19, di dunia prosa Turki-Utsmani, tidak ada karya yang menyerupai roman, cerita pendek, atau novel bergaya Eropa. Genre yang serupa memang ada, namun dalam bentuk sastra rakyat Turki dan syair Divan.[11]
Syair Divan adalah bentuk seni sastra, yang terinspirasi dari sastra Persia, yang sangat simbolis. Syair Divan menyajikan banyak simbol yang makna dan keterkaitannya dijelaskan secara sederhana. Kebanyakan syair Divan berbentuk lirik yang dapat dinyanyikan. Karya-karya Yunus Emre dianggap sebagai contoh terbaik tradisi sastra mistis Turki, dan masih disukai hingga sekarang.[12]
Sastrawan-sastrawan yang terkenal dari masa Turki-Usmani diantaranya adalah Fuzuli, Mihrimah Sultan, Yunus Emre, dan Mahmud Abdulbaqi.

2.3.2 Arsitektur
Arsitektur Turki-Utsmani dipengaruhi oleh arsitektur Persia, Yunani, Byzantium, dan Islam. Pada masa awal kemunculan Kesultanan Utsmaniyah, arsitektur dalam negeri sedang di tahap pencarian ide-ide baru.
Konsep arsitektur Turki-Usmani lebih berpusat pada masjid. Masjid adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Turki-Utsmani. Selain masjid, arsitektur Turki-Usmani juga merambah bangunan sekolah, rumah sakit, jembatan, pemandian umum, dan pemakaman.
Mimar Sinan, adalah arsitek ternama pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman I, Selim II, dan Murad III. Beberapa karyanya adalah Masjid Selimiye, Masjid Suleymaniye, Masjid Mihrimah Sultan, dan Jembatan Mehmed Pasha.

2.3.3 Seni Lukis
Tradisi miniatur Turki-Utsmani yang dilukis untuk mengilustrasi manuskrip sangat dipengaruhi oleh kesenian Persia. Meski begitu, miniatur karya seniman-seniman Turki-Utsmani juga melibatkan sejumlah elemen tradisi Byzantium.
Pada 1572 M para pelukis dari Persia datang ke Istanbul dan membuat album yang sangat hebat untuk Sultan Murad III.[13]
Sultan Muhammad II tertarik pada seni lukis Italia, dan enam pelukis Italia bekerja untuknya, salah satunya Gentile Bellini, yang dalam waktu satu tahun melukis sejumlah gambar. Subhat al-Akbar, sebuah karya yang memuat daftar keturunan pangeran-pangeran Turki-Utsmani, dilengkapi dengan sejumlah gambar.[14]

2.4 Perkembangan Intelektual di Masa Turki-Utsmani
Perkembangan sains di Dunia Islam menurun drastis pasca kehancuran Baghdad di tangan Bangsa Mongol pada tahun 1258. Tetapi ini bukan berarti sains mati di masa Turki-Utsmani. Sultan Muhammad II pernah memerintahkan Georgios Amirutzes, seorang cendekiawan Yunani, untuk menerjemahkan dan menyebarkan buku geografi karya Ptolomeus ke lembaga-lembaga pendidikan Turki-Utsmani.
Taqiyuddin membangun Observatorium Taqiyuddin di Istanbul pada tahun 1577 M. Ia melakukan pengamatan astronomi di sana sampai 1580. Sayangnya, observatorium ini diruntuhkan tahun 1580 karena bangkitnya faksi ulama yang tidak acuh terhadap sains.[15]
Ilmu georafi cukup berkembang di masa Turki-Usmani. Banyak ditemukan usaha pembuatan peta untuk berbagai wilayah di dunia. Piri Reis (wafat 1553 M) terkenal karena peta-petanya dalam Kitab-i Bahriye, dan juga Piri Reis’ Map, yang menggambarkan Afrika Barat, Brazil, dan Antartika dengan detail. Katip Çelebi (1609-1657 M) menulis Kasyf al-Zhunun al-Asami al-Kutub wa al-Funun, yaitu ensiklopedia bibliografis tentang 14.500 buku berbahasa Arab. Di bidang ilmu sejarah, Tarih-i Pecevi karya Ibrahim Pecevi (1572-1650 M), menjadi rujukan utama.

2.5 Perkembangan Tasawuf Pada Masa Turki-Utsmani
Di Anatolia, Balkan, dan daerah-daerah Arab yang dikuasai Turki-Usmani, dapat ditemukan berbagai macam tarekat (jalan). Salah satunya, Khalwatiyah, yang bernisbat pada Muhammad bin Nur, bergelar al-Khalwati karena kebiasaannya mengasingkan diri untuk tujuan spiritual (khalawa). Tetapi pendiri sebenarnya tarekat ini adalah Yahya al-Syirwani dari Azerbaijan, wafat di Baku pada 1464 M. Yahya adalah penulis Wird al-Sattar, yang diamalkan sebagian besar cabang-cabang Tarekat Khalwatiyah. Yahya mengutus Umar Rusyani dan Yusuf al-Syirwani untuk menyebarkan ajaran tarekat ini di Anatolia dan Khurasan.
Pada masa al-Qanuni, banyak pejabat tinggi pemerintahan yang bergabung dengan Tarekat Khalwatiyah. Dari segi doktrin, banyak mursyid (pembimbing) Khalwatiyah yang menganut ajaran-ajaran Ibnu Arabi, terutama Wahdat al-Wujud.
Tarekat-tarekat lain yang popular di kalangan masyarakat Turki adalah Yasawiyah, Qalandariyah, Rifa’iyah, Mawlawiyah, Bektasyiyah, Qadiriyah, dan Naqsybandiyah. Pendiri Tarekat Yasawiyah, Ahmad Yasawi (wafat 1162 M) memiliki sanad melalui Abu Yazid al-Bistami. Kumpulan syair dalam Bahasa Turki, Hikmet, menjadi fondasi ideologis tarekatnya.
Tarekat Bektasyiyah sempat mendominasi satuan militer Yanisari. Ketika Sultan Mahmud II membubarkan pasukan Yanisari pada 1826 M, banyak pusat-pusat kegiatan Bektasyiyah yang ditutup atau disita pemerintah.[16]

2.6 Penyebab Kemajuan Kesultanan Turki-Utsmani
Penyebab perkembangan kemajuan dalam Kerajaan Turki Usmani, merupakan kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang Turki Usmani sendiri. Jika dibandingkan dengan bangsa lainya, seperti bangsa Arab dan Persia. Orang-orang Turki Usmani atau orang-orang Turki pada umumnya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang Islam lainya pada waktu itu. Kelebihan inilah yang menyebabkan Islam meluas sampai ke Eropa dan Kerajaan Turki Usmani mampu bertahan sampai enam abad lebih lamanya.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh bangsa Turki adalah sebagai berikut.
1.      Bangsa Turki adalah bangsa yang penuh mobilitas, bersemangat tinggi, berpandangan jauh dan berpatriot, dan suka berperang (dalam berperang terkenal berani, perkasa, dan tabah). Karena pertumbuhan yang masih muda dan kesederhanaan cara hidupnya, bangsa Turki belum terkena penyakit moral dan sosial seperti yang telah menyerang bangsa-bangsa Islam lainya di Timur yang mengakibatkan kemerosotannya.
2.      Bangsa Turki memiliki kesanggupan yang besar dalam hal militer, baik dalam angkatan darat maupun angkatan laut. Dalam usia muda, bangsa Turki sudah menggunakan senjata api disamping perlengkapan perang mutakhir lainya. Tentara Usmani sangat mahir dalam hal teknik perang, mengorganisasi pasukan dan mengerahkanya ke medan tempur. Dalam hal imu dan teknik perang, tidak ada yang menandinginya pada masa kemajuanya. Lothrof Stoddard menyatakan kekagumanya atas kebesaran dan kemajuan  militer Turki Usmani dengan mengatakan bahwa orang-orang Turki Usmani hanya menghargai kemajuan militer. Dalam peperangan, mereka diakui sebagai bangsa yang kuat, berani, dan tabah. Sejak permulaan kebesarannya, mereka telah miliki pasukan meriam yang kuat dan infanteri yang terbaik di dunia. Demikian kuatnya kekuatan militer Usmani tersebut sehingga ia menjadi ancaman yang menakutkan bagi Eropa.
3.      Kerajaan Turki Usmani terletak di wilayah yang secara geografis sangat strategis untuk menjadi ibukota dari sebuah kerajaan dunia. Wilayah kekuasaanya terletak di Semenanjung Balkan dan ibukotanya terletak di antara Laut Hitam dan Laut Tengah. Jika dilihat dari aspek geopolitik, daerahnya sangat strategis karena seorang penguasa dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaanya  yang berada di Asia, Afrika, dan Eropa. Inilah sebabnya Napoleon Bonaparte pernah berkata, “seandainya dunia ini sebuah kerajaan, tempat yang paling strategis untuk dijadikan ibukotanya adalah Konstantinopel.”
4.      Adanya kelemahan politik yang dialami Kerajaan Byzantium dan masalah anarki feodal yang melanda negara-negara Balkan. Dengan keadaan sosial politik seperti ini memberikan kemudahan bagi Kerajaan Turki-Utsmani dalam menanamkan pengaruh dan kekuasaanya di Eropa.
5.      Faktor lain yang menyebabkan perkembangan kemajuan, khususnya perkembangan kemajuan dalam bidang perluasan wilayah Islam adalah faktor dakwah. Faktor kekuasaan dan dakwah ini  selalu menjadi motivasi dan sebab keberhasilan kerajaan Usmani dalam perjuanganya. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa semenjak Kerajaan Usmani berdiri sampai keruntuhanya, kerajaan ini merupakan negara yang mengabdi pada perjuangan memajukan atau mempertahankan kekuasan, dakwah, dan iman Islam. Keadaan ini lebih jelas lagi jika dipandang dari bentuk keislaman yang dianut oleh orang-orang Turki-Utsmani itu. Islam yang mereka anut itu adalah Islam dalam arti yang sangat sederhana, penuh dengan semangat keimanan yang militan dan bersifat terus terang seperti keislaman orang Arab Badui pertama. Dalam politik, islam bagi mereka adalah agama perang yang syahadatnya adalah tepuk sorak pertempuran dan dogmanya mengangkat senjata. Keyakinan inilah yang membuat orang-orang Usmani tidak henti-hentinya berperang dengan orang Eropa sampai Enam abad lamanya. Dari peperangan inilah, dapat dipahami bahwa faktor agama atau dakwah menjadi motivasi dan penyebab bagi kemajuan dan keberhasilan Kerajaan Turki Usmani.[17]



BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesultanan Ottoman atau Turki-Usmani, dinisbatkan pada nama Utsman bin Ertugrul. Kesultanan ini dibangun oleh bangsa Turki dari Kabilah Oghus. Setelah Utsman menyatakan dirinya sebagai raja pada tahun 699 H/1299 M, secara bertahap ia memperluas wilayahnya. Penyerangan awal dilakukan di sekitar daerah perbatasan Byzantium.
Kesultanan Utsmaniyah mengalami jatuh-bangun yang dimulai dari berdirinya pada tahun 1299 dan berakhir dengan kudeta pada tahun 1922 M. Sultan Orhan I membentuk satuan tentara elit Inkisyariyah atau Yanisari. Sultan al-Fatih Muhammad II menaklukan Konstantinopel pada 1453 M. Masa kejayaan Kesultanan Utsmaniyah berlangsung ketika pemerintahan Sultan al-Qanuni Sulaiman I (1520-1566 M).
Sastrawan-sastrawan yang terkenal dari masa Turki-Usmani diantaranya adalah Fuzuli, Mihrimah Sultan, Yunus Emre, dan Mahmud Abdulbaqi. Konsep arsitektur Turki-Usmani lebih berpusat pada masjid. Arsitek terkenal adalah Mimar Sinan. Tradisi miniatur Turki-Usmani yang dilukis untuk mengilustrasi manuskrip sangat dipengaruhi oleh kesenian Persia dan Byzantium.
Perkembangan sains di Dunia Islam menurun drastis pasca kehancuran Baghdad di tangan Bangsa Mongol pada tahun 1258. Tetapi ini bukan berarti sains mati di masa Turki-Usmani. Ada nama Katip Celebi, Taqiyuddin, dan Amirutzes.
Di Anatolia, Balkan, dan daerah-daerah Arab yang dikuasai Turki-Usmani, dapat ditemukan berbagai macam tarekat (jalan). Diantaranya Khalwatiyah, Rifa’iyah, Yasawiyah, Qalandariyah, Mawlawiyah, Bektasyiyah, Qadiriyah, dan Naqsybandiyah.



DAFTAR PUSTAKA

Fierro, Maribel (ed.). 2011. The New Cambridge History of Islam Vol. 2: The Western Islamic World Eleventh to Eighteenth Centuries. Cambridge: Cambridge University Press.
Hodgson, Marshall G. S. 1974. The Venture of Islam Vol. 3: The Gunpowder Empires and Modern Times. Chicago: The University of Chicago Press.
Ibrahim, Qasim A. dan Muhammad A. Saleh. 2014. Buku Pintar Sejarah Islam. Jakarta: Zaman.
Irwin, Robert (ed.). 2011. The New Cambridge History of Islam Vol. 4: Islamic Cultures and Societies to the End of the Eighteenth Century. Cambridge: Cambridge University Press.
Kusdiana, Ading. 2013. Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Pertengahan. Bandung: Pustaka Setia.
Pedersen, J. 1996. Fajar Intelektualisme Islam. Bandung: Penerbit Mizan.

en.wikipedia.org/wiki/history_of_the_ottoman_empire diakses pada 16/2/2017.
id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Utsmaniyah diakses pada 16/2/2017.
id.wikipedia.org/wiki/Daftar_sultan_Utsmaniyah diakses pada 17/2/2017.
www.cregasia.com/artikel/74/nama-nama-raja-kesultanan-ottoman-turki-utsmaniyah/ diakses pada 17/2/2017.
quislam.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-turki-usmani.html?m=1 diakses pada 16/2/2017.
aagun74alqabas.wordpress.com/2011/05/07/dinasti-turki-utsmani-1281-1924/ diakses pada 16/2/2017.







[1] quislam.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-turki-usmani.html?m=1 diakses pada 16/2/2017.
[2] Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta: Zaman, 2014).
[3] Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam Vol. 3: The Gunpowder Empires and Modern Times. (Chicago: The University of Chicago Press), hlm. 100.
[4] Maribel Fierro (ed.), The New Cambridge History of Islam Vol. 2: The Western Islamic World Eleventh to Eighteenth Centuries, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm. 232.
[5] Ibid, hlm. 332 .
[6] Ibid, hlm. 338-339.
[7] aagun74alqabas.wordpress.com/2011/05/07/dinasti-turki-utsmani-1281-1924/ diakses pada 16/2/2017.
[8] ibid.
[9] http://www.cregasia.com/artikel/74/nama-nama-raja-kesultanan-ottoman-turki-utsmaniyah/ diakses pada 17/2/2017
[10] id.wikipedia.org/wiki/Daftar_sultan_Utsmaniyah diakses pada 17/2/2017.
[11] id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Utsmaniyah diakses pada 16/2/2017.
[12] Robert Irwin (ed.), The New Cambridge History of Islam Vol. 4: Islamic Cultures and Societies to the End of the Eighteenth Century, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm. 428.
[13] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 132.
[14] Ibid., hlm. 133.
[15] en.wikipedia.org/wiki/history_of_the_ottoman_empire diakses pada 16/2/2017.
[16] Robert Irwin (ed.), Op. Cit, hlm. 93-99.
[17]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Pertengahan. (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 135-137.