FAKTOR PENYEBAB AUFKLARUNG
Oleh: Muhammad Irham
Aufklarung atau Aufklärung berasal dari Bahasa Jerman, yang
berarti pencerahan atau enlightenment. Kata Aufklärung secara
istilah merujuk pada pergerakan intelektual yang mendominasi benua Eropa pada
Abad ke-18, yang juga bisa disebut Age of Enlightenment atau Age of
Reason di Inggris, dan le Siècle des Lumières di Prancis.[1]
Singkatnya, Aufklarung juga bisa disebut Abad Pencerahan.
Para sejarawan Prancis menempatkan Abad Pencerahan antara tahun 1715
M, tahun kematian Louis XIV, dan 1789 M, tahun dimulainya Revolusi Prancis.
Filsafaat berkembang pesat di Inggris dan Irlandia di Abad ke-18.[2]
Setelah paruh kedua Abad ke-17 dan sepanjang Abad ke-18, rasionalisme dan
sekularisme dengan cepat menggulingkan hegemoni agama.[3]
[2]
Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British
Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis
Group, 2004).
1.1 Faktor-faktor
Penyebab Aufklarung
a)A. Renaissance dan Revolusi Ilmu Pengetahuan
Revolusi Ilmu Pengetahuan (Scientific
Revolution) merupakan suatu revolusi yang menandakan bangkitnya kelompok
intelektual bangsa Eropa mengenai cara berpikir keilmiahan. Revolusi ilmu
pengetahuan adalah sebuah revolusi mengenai perubahan cara berpikir serta
persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi dirinya. Perubahan persepsi manusia tersebut adalah perubahan dari cara
berpikir yang ontologis ke cara berpikir matematis-mekanis. Cara berpikir
ontologis adalah warisan yang ditinggalkan bangsa Eropa ketika Abad
Pertengahan, masa besarnya pengaruh Agama Kristen di segala bidang, termasuk
kegiatan ilmu pengetahuan. Saat Renaissance, manusia tidak lagi menjadi
citra tuhan, tetapi manusia juga memiliki rasio atau logika manusia serta
kreativitas dan keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaan manusia. Pengetahuan
dilandaskan rasionalisme dan empirisme yang berkembang pesat dengan pendekatan
matematis yang diterapkan dalam kajiannya.
download Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment disini
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia
yang terpusat pada kekuataan akal serta budi manusia. Pada masa Renaissance
dibangun kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang
berlandaskan rasionalisme dan empirisme. Berbagai karya seni (seni lukis,
pahat, dan arsitektur) yang indah lagi radikal di saentro daratan Eropa
menandai bangkitnya bangsa Eropa untuk menguasai dunia seni maupun ilmu
pengetahuan. Tokoh-tokoh pembaharu humanis, seperti Leonardo da Vinci,
Michelangelo, Nicholas Copernicus, Keppler dan Galileo Galilei sangatlah
termasyur dengan karya-karya seni dan penemuan-penemuan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Fenomena alam, sosial budaya dipelajari, diamati secara cermat
untuk kemudian dimanfaatkannya. Dari upaya yang cukup lama dan tak kenal lelah
itulah, maka berkembang ilmu-ilmu pengetahuan alam seperti Fisika, Biologi, Kimia,
Kedokteran dan lain-lain. Semua ilmu-ilmu itu berkembang hingga melahirkan
Aufklarung alias pencerahan di Abad ke-18.
Abad Pencerahan didahului dan berhubungan erat dengan Revolusi Ilmu
Pengetahuan.[1] Prestasi-prestasi di
bidang ilmu-ilmu alam dari zaman Nicholas Copernicus (1473–1543) hingga Isaac
Newton (1642–1727) merubah seluruh pandangan manusia mengenai alam semesta dan
cara memahaminya.
Newton sendiri dipengaruhi pendekatan ilmiah yang telah memusim
Inggris selama beberapa dasawarwa, yakni pendekatan ilmiah Descartes yang telah
memberi bentuk pada Abad ke-17, sehingga disebut Abad Revolusi Ilmu
Pengetahuan, sebuah masa perubahan sains secara fundamental dimana teori-teori
tradisional digantikan dengan teori-teori baru atau ditransformasikan secara radikal.[2]
Newton berjasa membawa ide-ide Descartes ke Abad XVIII.
B.
Penerbitan
Principia karya Newton Newton
Pandangan Copernicus mengenai gerak Bumi dan tata surya yang
heliosentris diperkuat dengan observasi teleskop Galileo di tahun 1609, tetapi
semua itu masih belum cukup untuk menggantikan dominasi Fisika Aristotelian. Teori
Heliosentris kemudian diperkuat René Descartes dan semakin lengkap dengan
kehadiran Newton.[3] Penerbitan Principia
karya Newton pada 1687 memberikan pemahaman mendasar dalam konsep-konsep
fisika.[4] Karya
Newton ini naik daun karena menjelaskan hukum-hukum gerak dan Teori Gravitasi. Newton
menganggap ilmunya ini memberi metode paling ampuh dalam penyelidikan dunia
fisik. Dia sendiri dipengaruhi pendekatan ilmiah yang telah memusim Inggris
selama beberapa dasawarwa.
Buku Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica alias Principia
dianggap sebagai buku paling berpengaruh sepanjang sejarah sains. Buku ini
meletakkan dasar-dasar mekanika klasik. Dalam karyanya ini, Newton menjabarkan
hukum gravitasi dan tiga hukum gerak yang mendominasi pandangan sains mengenai
alam semesta selama tiga abad. Newton berhasil menunjukkan bahwa gerak benda di
Bumi dan benda-benda luar angkasa lainnya diatur oleh sekumpulan hukum-hukum
alam yang sama. Ia membuktikannya dengan menunjukkan konsistensi antara hukum
gerak planet Keppler dengan teori gravitasinya. Karyanya ini membuat keraguan
para ilmuwan akan heliosentrisme menjadi sirna dan memajukan revolusi ilmiah.
Dalam bidang mekanika, Newton mencetuskan adanya prinsip kekekalan
momentum dan momentum sudut. Dalam bidang optika, ia berhasil membangun
teleskop refleksi yang pertama dan mengembangkan teori warna berdasarkan
pengamatan bahwa sebuah kaca prisma akan membagi cahaya putih menjadi
warna-warna lainnya. Ia juga merumuskan hukum pendinginan dan mempelajari
kecepatan suara.
Sedang di bidang matematika pula, jasa Newton begitu besar. Ia mengembangkan
kalkulus diferensial dan kalkulus integral. Newton menganggap ilmunya ini
memberi metode paling ampuh dalam memahami dunia fisik, yakni metode berpikir
matematis-mekanis. Sejak itulah ilmu pengetahuan berkembang pesat dengan
pendekatan matematis yang diterapkan dalam kajian-kajian ilmiah Newton.
Cara berpikir matematis-mekanis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Newton ini menjadi semacam gaya para intelektual untuk membuat
analisis dalam penelitiannya. Pendekatan yang bersifat kuantitatif, dibawah
naungan hukum kausalitas, yang didukung dengan percobaan atau eksperimen
melalui usaha uji coba model tiruan dari objek yang sesungguhnya membuat para
peneliti dapat mengembangkan penelitiannya dengan lebih sempurna.
Akibat dari perjalanan proses revolusi ilmu pengetahuan, memunculkan
adanya nilai-nilai dasar yang tampil dalam perubahan cara berpikir manusia.
Nilai-nilai dasar itu adalah nilai alam, budaya dan ekonomi.
C.
Pertentangan antara filsuf rasionalis dengan
filsuf empiris
Secara etimologis, rasionalisme berasal
dari kata bahasa Inggris rationalism, yang akarnya dari bahasa Latin ratio
yang berarti “akal”. Bagus menambahkan rasionalisme adalah sebuah pandangan
yang berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.[5]
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh
kenamaan yang sependapat dengan pemikiran-pemikiran Plato, mereka secara
kolektif disebut rasionalis atau platonis. Para platonislah yang berjasa besar
dalam Enlightment di Inggris.[6]
Dalam pembahasan tentang perjalanan teori
pengetahuan, maka Rasionalisme menempati tempat yang penting. Paham ini
dikaitkan dengan filsuf-filsuf rasionalis abad ke-17 dan ke-18, seperti Descartes,
Spinoza, dan Leibniz meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat
ditemukan pada pemikiran filsuf klasik misalnya Plato. Descartes sendiri
dianggap sebagai filsuf modern pertama, dan dia berpandangan bahwa manusia
mampu memperoleh pengetahuan dari pikiran atau jiwa sebelum pengetahuan dari
objek-objek fisik.[7] Descartes mengatakan
bahwa, “jika Socrates berkata bahwa ia meragukan semua hal, itu artinya ia
memahami paling tidak satu hal, yaitu bahwa ia sedang ragu“.[8]
Empirisme secara etimologis berasal dari
bahasa Yunani empeiria yang artinya “berpengalaman dalam”. Empirisme juga
dapat dimaknai aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara
keseluruhan ataupun parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan
indera.[9]
Selanjutnya secara terminologis, definisi
empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam
pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah sumber pengetahuan,
dan bukan persepsi dalam otak.
Filsuf empiris yang sangat populer adalah
David Hume. Dalam A Treatise of Human Nature, yang
dipublikasikan sebelum dirinya berusia 30 tahun, Hume berkata bahwa ia akan
menggunakan metode eksperimen dalam mengembangkan sains. Metode eksperimen
dianggapnya kontras dengan metode-metode lain.[10]
Hume banyak dipengaruhi Locke dan Berkeley.
Filsuf-filsuf pra-Aufklarung yang pengaruhnya begitu besar
diantaranya Francis Bacon, René Descartes, John Locke, dan Baruch Spinoza. Pemikiran-pemikiran mereka dibawa ke Abad
XVIII oleh Isacc Newton, David Hume, Voltaire, Jean-Jacques Rousseau, dan Adam
Smith. Tetapi filsuf Aufklarung terbesar tetaplah Immanuel Kant.
[1] I.
Bernard Cohen. Scientific Revolution and Creativity in the Enlightenment.
(1982).
[2] G.
H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. IV: The
Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor &
Francis Group, 2004).
[3]
Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British
Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis
Group, 2004).
[4]
Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British
Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis
Group, 2004).
[5]
Bagus L., Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[6]
Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Volume V: British
Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis
Group, 2004).
[7] G.
H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Volume IV: The
Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor &
Francis Group, 2004).
[8] G.
H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Volume IV: The
Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor &
Francis Group, 2004).
[9]
Bagus L., Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[10]
Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British
Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis
Group, 2004).