Kamis, 08 Juni 2017

Faktor-faktor Penyebab Aufklarung

FAKTOR PENYEBAB AUFKLARUNG
Oleh: Muhammad Irham


Aufklarung atau Aufklärung berasal dari Bahasa Jerman, yang berarti pencerahan atau enlightenment. Kata Aufklärung secara istilah merujuk pada pergerakan intelektual yang mendominasi benua Eropa pada Abad ke-18, yang juga bisa disebut Age of Enlightenment atau Age of Reason di Inggris, dan le Siècle des Lumières di Prancis.[1] Singkatnya, Aufklarung juga bisa disebut Abad Pencerahan.
Para sejarawan Prancis menempatkan Abad Pencerahan antara tahun 1715 M, tahun kematian Louis XIV, dan 1789 M, tahun dimulainya Revolusi Prancis. Filsafaat berkembang pesat di Inggris dan Irlandia di Abad ke-18.[2] Setelah paruh kedua Abad ke-17 dan sepanjang Abad ke-18, rasionalisme dan sekularisme dengan cepat menggulingkan hegemoni agama.[3]


[1]Michael Frassetto. Encyclopædia Britannica. (Chicago: Encyclopædia Britannica Inc, 2015).
[2] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[3] Jonathan I. Israel, Radical Enlightenment, (Oxford: Oxford University Press, 2002).



1.1 Faktor-faktor Penyebab Aufklarung
a)A.    Renaissance dan Revolusi Ilmu Pengetahuan
Revolusi Ilmu Pengetahuan (Scientific Revolution) merupakan suatu revolusi yang menandakan bangkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa mengenai cara berpikir keilmiahan. Revolusi ilmu pengetahuan adalah sebuah revolusi mengenai perubahan cara berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi dirinya. Perubahan persepsi manusia tersebut adalah perubahan dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir matematis-mekanis. Cara berpikir ontologis adalah warisan yang ditinggalkan bangsa Eropa ketika Abad Pertengahan, masa besarnya pengaruh Agama Kristen di segala bidang, termasuk kegiatan ilmu pengetahuan. Saat Renaissance, manusia tidak lagi menjadi citra tuhan, tetapi manusia juga memiliki rasio atau logika manusia serta kreativitas dan keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaan manusia. Pengetahuan dilandaskan rasionalisme dan empirisme yang berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam kajiannya.
download Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment disini
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia yang terpusat pada kekuataan akal serta budi manusia. Pada masa Renaissance dibangun kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang berlandaskan rasionalisme dan empirisme. Berbagai karya seni (seni lukis, pahat, dan arsitektur) yang indah lagi radikal di saentro daratan Eropa menandai bangkitnya bangsa Eropa untuk menguasai dunia seni maupun ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh pembaharu humanis, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo, Nicholas Copernicus, Keppler dan Galileo Galilei sangatlah termasyur dengan karya-karya seni dan penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Fenomena alam, sosial budaya dipelajari, diamati secara cermat untuk kemudian dimanfaatkannya. Dari upaya yang cukup lama dan tak kenal lelah itulah, maka berkembang ilmu-ilmu pengetahuan alam seperti Fisika, Biologi, Kimia, Kedokteran dan lain-lain. Semua ilmu-ilmu itu berkembang hingga melahirkan Aufklarung alias pencerahan di Abad ke-18.
Abad Pencerahan didahului dan berhubungan erat dengan Revolusi Ilmu Pengetahuan.[1] Prestasi-prestasi di bidang ilmu-ilmu alam dari zaman Nicholas Copernicus (1473–1543) hingga Isaac Newton (1642–1727) merubah seluruh pandangan manusia mengenai alam semesta dan cara memahaminya.
Newton sendiri dipengaruhi pendekatan ilmiah yang telah memusim Inggris selama beberapa dasawarwa, yakni pendekatan ilmiah Descartes yang telah memberi bentuk pada Abad ke-17, sehingga disebut Abad Revolusi Ilmu Pengetahuan, sebuah masa perubahan sains secara fundamental dimana teori-teori tradisional digantikan dengan teori-teori baru atau ditransformasikan secara radikal.[2] Newton berjasa membawa ide-ide Descartes ke Abad XVIII.

B.     Penerbitan Principia karya Newton Newton
Pandangan Copernicus mengenai gerak Bumi dan tata surya yang heliosentris diperkuat dengan observasi teleskop Galileo di tahun 1609, tetapi semua itu masih belum cukup untuk menggantikan dominasi Fisika Aristotelian. Teori Heliosentris kemudian diperkuat René Descartes dan semakin lengkap dengan kehadiran Newton.[3] Penerbitan Principia karya Newton pada 1687 memberikan pemahaman mendasar dalam konsep-konsep fisika.[4] Karya Newton ini naik daun karena menjelaskan hukum-hukum gerak dan Teori Gravitasi. Newton menganggap ilmunya ini memberi metode paling ampuh dalam penyelidikan dunia fisik. Dia sendiri dipengaruhi pendekatan ilmiah yang telah memusim Inggris selama beberapa dasawarwa.
Buku Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica alias Principia dianggap sebagai buku paling berpengaruh sepanjang sejarah sains. Buku ini meletakkan dasar-dasar mekanika klasik. Dalam karyanya ini, Newton menjabarkan hukum gravitasi dan tiga hukum gerak yang mendominasi pandangan sains mengenai alam semesta selama tiga abad. Newton berhasil menunjukkan bahwa gerak benda di Bumi dan benda-benda luar angkasa lainnya diatur oleh sekumpulan hukum-hukum alam yang sama. Ia membuktikannya dengan menunjukkan konsistensi antara hukum gerak planet Keppler dengan teori gravitasinya. Karyanya ini membuat keraguan para ilmuwan akan heliosentrisme menjadi sirna dan memajukan revolusi ilmiah.
Dalam bidang mekanika, Newton mencetuskan adanya prinsip kekekalan momentum dan momentum sudut. Dalam bidang optika, ia berhasil membangun teleskop refleksi yang pertama dan mengembangkan teori warna berdasarkan pengamatan bahwa sebuah kaca prisma akan membagi cahaya putih menjadi warna-warna lainnya. Ia juga merumuskan hukum pendinginan dan mempelajari kecepatan suara.
Sedang di bidang matematika pula, jasa Newton begitu besar. Ia mengembangkan kalkulus diferensial dan kalkulus integral. Newton menganggap ilmunya ini memberi metode paling ampuh dalam memahami dunia fisik, yakni metode berpikir matematis-mekanis. Sejak itulah ilmu pengetahuan berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam kajian-kajian ilmiah Newton.
Cara berpikir matematis-mekanis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Newton ini menjadi semacam gaya para intelektual untuk membuat analisis dalam penelitiannya. Pendekatan yang bersifat kuantitatif, dibawah naungan hukum kausalitas, yang didukung dengan percobaan atau eksperimen melalui usaha uji coba model tiruan dari objek yang sesungguhnya membuat para peneliti dapat mengembangkan penelitiannya dengan lebih sempurna.
Akibat dari perjalanan proses revolusi ilmu pengetahuan, memunculkan adanya nilai-nilai dasar yang tampil dalam perubahan cara berpikir manusia. Nilai-nilai dasar itu adalah nilai alam, budaya dan ekonomi.

C.     Pertentangan antara filsuf rasionalis dengan filsuf empiris
Secara etimologis, rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism, yang akarnya dari bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. Bagus menambahkan rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.[5]
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan yang sependapat dengan pemikiran-pemikiran Plato, mereka secara kolektif disebut rasionalis atau platonis. Para platonislah yang berjasa besar dalam Enlightment di Inggris.[6]
Dalam pembahasan tentang perjalanan teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati tempat yang penting. Paham ini dikaitkan dengan filsuf-filsuf rasionalis abad ke-17 dan ke-18, seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran filsuf klasik misalnya Plato. Descartes sendiri dianggap sebagai filsuf modern pertama, dan dia berpandangan bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan dari pikiran atau jiwa sebelum pengetahuan dari objek-objek fisik.[7] Descartes mengatakan bahwa, “jika Socrates berkata bahwa ia meragukan semua hal, itu artinya ia memahami paling tidak satu hal, yaitu bahwa ia sedang ragu“.[8]
Empirisme secara etimologis berasal dari bahasa Yunani empeiria yang artinya “berpengalaman dalam”. Empirisme juga dapat dimaknai aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan ataupun parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.[9]
Selanjutnya secara terminologis, definisi empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah sumber pengetahuan, dan bukan persepsi dalam otak.
Filsuf empiris yang sangat populer adalah David Hume. Dalam A Treatise of Human Nature, yang dipublikasikan sebelum dirinya berusia 30 tahun, Hume berkata bahwa ia akan menggunakan metode eksperimen dalam mengembangkan sains. Metode eksperimen dianggapnya kontras dengan metode-metode lain.[10] Hume banyak dipengaruhi Locke dan Berkeley.
Filsuf-filsuf pra-Aufklarung yang pengaruhnya begitu besar diantaranya Francis Bacon, René Descartes, John Locke, dan Baruch Spinoza. Pemikiran-pemikiran mereka dibawa ke Abad XVIII oleh Isacc Newton, David Hume, Voltaire, Jean-Jacques Rousseau, dan Adam Smith. Tetapi filsuf Aufklarung terbesar tetaplah Immanuel Kant.



[1] I. Bernard Cohen. Scientific Revolution and Creativity in the Enlightenment. (1982).
[2] G. H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. IV: The Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[3] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[4] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[5] Bagus L., Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[6] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Volume V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[7] G. H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Volume IV: The Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[8] G. H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Volume IV: The Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[9] Bagus L., Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[10] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).

SEJARAH KERAJAAN SUNDA DAN GALUH

SEJARAH KERAJAAN SUNDA DAN GALUH


1.1 Latar Belakang 
Setelah mangkat, Sang Linggawarman digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan nama nobat: Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa, pada tahun 669 M. Tarusbawa, dengan ini menjadi raja Sunda pertama.
Pengangkatan Tarusbawa ini ditentang Wretikandayun. Ia kemudian memisahkan diri dan mendirikan Kerajaan Galuh. Wilayah Sunda dan Galuh dibatasi Sungai Citarum.
Diantara kedua kerajaan masih sering terjalin hubungan yang baik. Salah satunya lewat perkawinan. Hubungan yang kurang baik justru datang dari timur. Rombongan bangsawan Galuh yang mengantar Dyah Pitaloka untuk menikah dengan raja Majapahit Hayam Wuruk berselisih paham dengan Mahapatih Gajah Mada. Akibatnya, pasukan Gajah Mada segera menyerang rombongan tersebut. Perang ini dikenal dengan Perang Bubat. Seluruh anggota rombongan terbunuh, tak terkecuali Dyah Pitaloka.
Pada masa pemerintahan Wastukancana, agama Islam mulai masuk ke bumi Galuh, tepatnya dari daerah Cirebon dan Karawang. Bahkan berdiri pula Kerajaan Talagamanggung yang bercorak Budha.
Makalah ini berusaha menguraikan sejarah berdirinya Kerajaan Sunda dan Galuh, proses Perang Bubat, kepercayaan yang dianut masyarakat Galuh, dan peninggalan-peninggalan Kerajaan Galuh.




2.1 Berdirinya Kerajaan Sunda dan Galuh
Sang Nagajaya, raja Tarumanagara kesebelas, setelah memerintah dengan bijaksana, akhirnya mangkat di tahun 588 Saka/666 Masehi. Ia digantikan oleh anaknya, Sang Linggawarman. Sang Linggawarman, raja Tarumanagara keduabelas, memerintah selama kurun 666-669 M.
Setelah mangkat, Sang Linggawarman digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan nama nobat: Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa, pada tahun 669 M.
Sang Tarusbawa bukanlah keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura), sebagai raja keturunan pribumi di daerah Sundapura. Setelah naik tahta, ia memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura dan mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda.
“Galuh” adalah sebuah kerajaan, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cipamali di sebelah timur, sebagai penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai ketika Sang Kandiawan, pemimpin Kerajaan Kendan, yang telah memerintah selama lima belas tahun, memilih menjadi seorang petapa. Selanjutnya, kekuasaan ia wariskan kepada putra bungsunya yaitu Sang Wretikandayun.[1]
Tarusbawa naik tahta, dan kebijakannya memindahkan pusat Tarumanagara ke Sundapura berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, atau Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612 M), memilih untuk memisahkan diri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.

 

Walaupun sudah berbagi kekuasaan dengan Sang Wretikandayun, Sang Tarusbawa masih sempat memberitakan penobatannya sebagai penerus tahta Tarumanagara, ke berbagai negara sahabat. Oleh sebab itulah, dalam sumber Cina yang terakhir, menyebutkan "ada utusan dari Tarumanagara pada tahun 669 Masehi".
Sebelumnya, Wretikandayun, demi menjauh dari pengaruh Tarumanagara, memilih memindahkan pusat kerajaan ke sebuah tempat yang dinamai Galuh, artinya permata.[2] Galuh berada di lahan yang diapait oleh Sungai Cimuntur dan Citanduy. Lokasi bekas Galuh tersebut, sekarang dikenal sebagai Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Pada masa Wrettikandayun, Kerajaan Galuh berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum.[3] Setelah 90 tahun memerintah, Wrettikandayun mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia menjadi Raja Resi di Mendala Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan Rahiangtarimenir setelah dirinya wafat pada tahun 702 Masehi dalam usia 111 tahun.[4]
Wrettikandayun mempunyai tiga putera; Sempakwaja, Jantaka, dan Mandiminyak. Setelah Wretikandayun mengundurkan diri, tahta Galuh ia diserahkan kepada si bungsu, Amara alias Mandiminyak. Amara berarti laki-laki pesolek. Dengan wajah tampan dan ketiadaan cacat fisik orang, seperti kedua kakaknya, cocoklah Wandiminyak menjadi raja.[5]
Kerajaan Galuh pada masa Mandiminyak, memerintah di Galuh dari tahun 702-709 masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan Dewi Parwati, dari Kalingga, dan dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Dewi Sannaha. Kemudian Mandiminyak memiliki seorang anak yang bernama Bratasena atau Sena sebagai hasil hubungan gelap dengan Pohaci Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakwaja. Sena dan Dewi Sannaha oleh Mandiminyak dikawinkan, padahal keduanya berasal dari dua ibu namun satu ayah. Perkawinan ini dinamakan perkawinan manu.
Pasangan tersebut dikaruniai anak yang diberi nama Jambri, atau lebih dikenal dengan sebutan Sanjaya. Setelah dewasa Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda karena menikah dengan Taju Kencana, cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan, sekitar Bogor sekarang. Taju Kencana dirawat oleh kakeknya seperti anak sendiri karena putranya meninggal sebelum naik tahta.
Setelah Mandiminyak mangkat, tahta Galuh diserahkan kepada Bratasena atau Sang Sena. Ia memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Pengangkatan Sena, yang merupakan hasil hubungan gelap Mandiminyak dengan Pwah Rarabu, ternyata telah menimbulkan iri Pubasora, putra Sempakwaja. Menurutnya, ia yang paling berhak atas tahta Galuh mengingat ia lebih tua dari Sena.
Pada tahun 716 Masehi terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta di Cirebon. Mengingat Purbasora sudah menjadi menantu dari Padmahariwangsa, penguasa Indraprahasta.[6]
Menyadari kedudukannya terancam, Sena meminta bantuan Tarusbawa dari Sunda yang sudah menjadi sekutunya. Tetapi pasukan yang dipimpin Purbasora ternyata lebih dulu tiba di Galuh dibandingkan pasukan Sunda. Sena sudah kalah dan tersingkir ke Kalingga Utara. Sejak itu, tahta Galuh berada di tangan Purbasora, antara tahun 716-723 Masehi.
Setelah Purbasora memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sanjaya adalah anak dari Bratasena atau Sang Sena. Sebagai penguasa Sunda, Sanjaya bisa dengan leluasa  memimpin pasukan dan menyerang Galuh secara mendadak, sehingga keraton dengan mudah dikuasainya. Purbasora dibinasakan oleh Sanjaya, yang berhasil merebut Kraton Galuh dalam waktu hanya satu malam.[7] Saat itu usia Purbasora 80 tahun.
Sanjaya berkuasa di Galuh dari tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya.
Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempakwaja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Sempakwaja menolak permintaan itu. Namun karena pertimbangan kekuasaan Galuh harus berada di tangan keturunan Wretikandayun, ia mengajukan Premana Dikusuma, cucu dari Purbasora.
Untuk menjaga kepentingannya di Galuh, Sanjaya menempatkan putranya, Tamperan Barmawijaya sebagai patih. Tujuannya tidak lain adalah untuk memata-matai gerak-gerik Premana Dikusuma. Untuk tujuan yang sama Sanjaya mengirimkan Dewi Pangrenyep dari Sunda sebagai selir Premana Dikusuma. Tetapi, saat anak pertamanya yang bernama Ciung Wanara baru berumur lima tahun, Premana Dikusuma memilih melakukan tapa.
Pada waktu Premana Dikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang jabatannya sebagai patih Galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia menghianati Premana Dikusuma, dengan cara berbuat tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang merupakan selir Premana Dikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga. Tamperan membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Premana Dikusuma yang sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Premana Dikusuma oleh orang suruhan Tamperan.
Ketika Manarah atau Ciung Wanara berusia 22 tahun, tepatnya tahun 739 M, ia bersama pasukannya dari Geger Sitambah dan pasukan yang masih setia kepada mendiang ayahnya, menyerang kerajaan Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Manarah ikut serta menyabungkan ayamnya.
Tamperan dan Pangrenyep berusaha menyelamatkan diri ke hutan, disusul putranya, Banga. Akan tetapi pasukan Manarah tidak memberi kesempatan sedikitpun, mereka menghujani hutan dengan panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Banga dan Manarah pun bertarung dengan sengit. Selama berhari-hari tidak tampak siapa yang akan menang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya Resiguru Demunawan turun tangan dan berhasil melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan dibagi menjadi dua yaitu, Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung Wanara atau Manarah, sedangkan kerajaan Sunda di serahkan kepada Rahiang Banga. Sedangkan Sanjaya tetap memerintah di Jawa Tengah. Untuk memperkokoh kesepakatan tersebut, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan.[8]

Perang Bubat
Bagaimana sebenarnya Perang Bubat yang membuat kerajaan Galuh dan Kerajaan Majapahit bermusuhan? Padahal sebelum peristiwa itu kedua kerajaan saling menghormati dengan tidak menyerang wilayah masing-masing.
Gajah Mada merupakan tokoh sentral yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaan dibawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Ia berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara, sebagian besar lewat peperangan, namun tidak demikian dengan Galuh.
Hayam Wuruk yang lajang ingin memperistri putri Sunda yang tersohor cantik jelita, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ketika hari perkawinan semakin dekat, raja, beserta para pembesar, dan pastinya Dyah Pitaloka, sang mempelai, berangkat ke Bubat, sebuah kota dalam wilayah Majapahit menggunakan kapal.
Setibanya di tempat yang dituju, kedua belah pihak mengalami kesalahpahaman yang berakibat fatal. Mahapatih Gajah Mada merasa keberatan menyambut rombongan dari Kerajaan Galuh karena ia menganggap Putri Citraresmi akan “dihadiahkan” kepada Raja Hayam Wuruk. Sebaliknya, di lain pihak, Raja Galuh dan rombongannya bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu telah “dipinang” oleh Hayam Wuruk beberapa waktu sebelumnya. Apalagi Prabu Linggabuana merasa Galuh bukan bawahan Majapahit.
Perbedaan pendapat  ini kemudian memuncak setelah utusan Sunda yang bernama Prabu Anapaken mencela sikap Gajah Mada tersebut. Sebelum ada perintah dari Hayam Wuruk, Gajah Mada sudah menyerang dari arah utara. Para Ksatria Galuh pastinya berusaha mempertahankan diri. Namun, karena tujuan awal mereka memang bukan untuk berperang, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak. Mereka terdesak. Para Ksatria tersebut, Prabu Linggabuana, Larang Agung, Tuan Sohan, Panji Melong, dan lain-lain, satu per satu gugur.
Hayam Wuruk begitu menyesal. Pasca Bubat, Majapahit tidak pernah menyerang Galuh. Galuh tidak pernah menjadi bawahan Majapahit.


Prabu Linggabuana hanya memerintah selama 7 tahun (1350-1357 M). Selama berkuasa ia dikenal sebagai raja yang adil lagi bijaksana. Ia dijuliki Prabu Siliwangi atau Prabu Wangi. Sepeninggalnya, tahta Galuh diwariskan kepada Prabu Niskala Wastukancana dengan dibawah perwalian Bunisora karena dia masih dibawah umur. Setelah lebih 14 tahun berada dibawah perwalian Bunisora, Wastukancana naik tahta. Ia termasuk raja yang berumur panjang dan memerintah dalam waktu lama, yaitu 1371-1457 M.
Wastukancana dinobatkan menjadi raja Galuh pada usia 23 tahun. Ia dikawinkan dengan Mayangsari, putri sulung Bunisora. Tetapi sebelumnya, Wastukancana sudah menikah dengan Dewi Sartika, putri Resi Susuk Lampung dari Sumatera.
Mayangsari menempati Keraton Surawisesa di Galuh, sedangkan Dewi Sartika di Keraton Pakuan di Bogor sekarang. Dari Mayangsari, Wastukancana dikaruniai empat putra, yaitu Ningrat Kancana, Ki Gedeng Sindangkasih, Surawijaya Sakti atau Ki Gedeng Singapura, dan Ki Gedeng Tapa. Sementara dari Dewi Sartika dikaruniai putra yang bernama Sang Haliwungan.

Kepercayaan Masyarakat Galuh
Para raja dan masyarakat kerajaan Galuh, sebelum kedatangan Islam adalah pemeluk agama Hindu, tetapi dengan unsur pribumi yang kuat.
Nampaknya penggeseran agama orang Sunda sudah dimulai pada masa pemerintahan Sanjaya (723-32). Menjelang penyerahan kekuasaan kepada anaknya, Rahyang Tamperan, Sanjaya menganjurkan agar anaknya beralih agama, karena dengan agama yang dianutnya saat itu, Sanjaya hanya menyebabkan orang menjadi takut. “Jangan mengikuti agamaku karena dengan itu aku ditakuti banyak orang” sebagaimana yang dicatat dalam Carita Parahyangan.[9]
Dari naskah-naskah lama yang berbahasa Sunda dapat diketahui bahwa orang Sunda pada masa lampau sangat mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan, kebudayaan, dan akhlak. Hampir semua naskah menitiberatkan uraiannya kepada segi kerohanian, bukan kepada hal-hal yang lebih bersifat jasmani. Dalam empat buah naskah, yaitu naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, naskah Sewakadarma, naskah Kaih Paningkes, dan naskah Jatiniskala, misalnya pembicaraan mengenai segi-segi ruhani itu sangat menonjol, sedangkan yang berifat jasmani hanya disampaikan sekedar sebagai pengetahuan umum.[10]
Dari uraian mengenai masyarakat Sunda sebelum Islam berdasarkan naskah-naskah nampak bahwa pengetahuan tentang keadaan masyarakat Sunda Galuh khususnya, di masa lampau masih sangat sedikit dikarenakan kelangkaan sumber. Dalam kaitannya dengan masyarakat Sunda Galuh di masa lampau khususnya pada masa sebelum Islam diperlukan telaah lebih lanjut.[11]
Pada masa pemerintahan Wastukancana, agama Islam mulai masuk. Bahkan di wilayah Talaga (sekarang termasuk kabupaten Majalengka) berdiri Kerajaan Talagamanggung yang bercorak Budha.
Prabu Bunisora, selain menjadi mertua Wastukancana, juga menjadi tonggak keberagaman agama di Galuh. Putranya yang kedua, Bratalegawa, menjadi penganut Islam yang pertama di Galuh dan dijuluki Haji Purwa. Artinya haji yang pertama. Ia dikenal pula dengan Haji Bahrudin.
Bratalegawa dilahirkan pada 1272 Saka (1350 M). Bratalegawa memilih menjadi saudagar. Ia menjadi kaya berkat kegigihannya dan hubungannya dengan bangsa-bangsa lain.
Dalam sebuah pelayaran dagang, ia singgah di Gujarat. Di negeri ini ia bertemu wanita setempat yang bernama Farhana binti Muhammad. Setelah menikah ia kembali ke Galuh dan mencoba mengislamkan adiknya, Banawati, tetapi gagal.
Masih dalam usaha mengambangkan Islam, Bratalegawa dan istrinya pindah ke Cirebon. Pasangan ini dikaruniai anak bernama Ahmad yang kelak dikenal dengan Maulana Safiudin. Bersama anaknya yang menginjak remaja, Bratalegawa dan istri kembali ke Gujarat. Disana, Ahmad dijodohkan dengan Rogayah binti Abdullah. Pasangan ini kemudian dikaruniai seorang putri yang bernama Hadijah.
Putri semata wayang ini kemudian dijodohkan dengan seorang saudagar kaya di Gujarat. Perkawinan ini tidak berlangsung lama karena sang suami meninggal dan meninggalkan banyak harta warisan.
Berbekal warisan dari suaminya, Hadijah mengikuti permintaan ayahnya agar pergi ke Cirebon. Ia menetap di Pasambangan, kini termasuk Cirebon Utara. Saat itu Cirebon sudah berkembang menjadi bandar yang maju. Wastukancana menempatkan anak-anaknya di Cirebon. Putranya, Ki Gedeng Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa ditempatkan menjadi jurulabuan (Syahbandar) Muarajati.
Setelah berada di Cirebon, Hadijah menikah dengan ulama Syekh Datuk Kahfi. Berkat kekayaannya ia mendirikan pesantren di Amperan Jati. Pesantren ini merupakan yang tertua kedua di negeri Galuh setelah pesantren yang didirikan oleh Syekh Hasanuddin, ulama asal Campa. Syekh Hasanuddin dijuluki Syekh Quro karena ia adalah penghapal al-Qur’an.[12] Suaranya pun sangat merdu sehingga banyak orang tertarik. Bahkan salah seorang santrinya adalah Nyi subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa,  jurulabuan Muarajati sekaligus putra dari Wastukancana.

“Kawali” dalam bahasa Sunda berarti periuk. Kawali juga merujuk pada salah satu kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dalam catatan sejarah, kota kecil ini pernah menjadi pusat Kerajaan Galuh. Kerajaan ini pernah mengalami masa kejayaan saat dibawah pemerintahan Prabu Wastukancana (1371-1457 M).
Prabu Wastukancana adalah raja yang meninggalkan banyak prasasti sebagaimana ditemukan di situs Astana Gede Kawali. Situs ini terletak di Dusun Indrayasa, Desa Kawali. Prasasti di situs ini pertama kali ditemukan Thomas S. Raffles pada 1871 M.
a.       Prasasti Kawali I
Mengungkapkan  usaha yang dilakukan Prabu Wastakuncana selama memerintah Galuh.

b.      Prasasti Kawali II
Prasasti Kawali II ditemukan tidak jauh dari Prasati Kawali I, bertuliskan yang artinya “semoga mereka yang kemudian mengisi negeri Kawali ini dengan kebahagiaan dengan membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang”.

Yang menarik, prasasti-prasasti di Astana Gede ditulis dalam bahasa dan aksara sunda. Atas dasar itu, Richadia Kartakusuma menyimpulkan, Wastukancana adalah raja Sunda yang menjadi pelopor terwujudnya asara Sunda.

oleh: Arus. Bandung, 9 Juni 2017



[1] Her Suganda, Kerajaan Galuh: Legenda, Takhta, Wanita, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2015), hlm. 15-16.
[2] Ibid, hlm. 17.
[3] Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa Barat, Bandung: Penerbit Gegersunten, hlm. 108.
[4] Ibid, hlm. 118.
[5] Her Suganda, Op.Cit, hlm. 28.
[6] Ibid., hlm. 34.
[7] Yoseph Iskandar, Op.Cit.
[8] Her Suganda, Op.Cit, hlm. 46.
[9] Atja, Tjarita Parahiyangan, (Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1967).
[10] Ibid, hlm. 33.
[11] Hartati (ed.), Serat Siksa Kanda Karesian, (Jakarta: Dapatermen Pendidikan dan Kebudayaan , 1993), hlm. 37.
[12] Her Suganda, Op.Cit, hlm. 61.