Jumat, 16 Desember 2016

SISTEM POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN


MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Politik








Disusun oleh :
Kelompok 4

Feby anggita
Hesti Zahrotunnisa
Kokom Komariah
Muhammad Irham


JURUSAN
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
BANDUNG
2016 M/1438 H



BAB IPENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Sistem merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah, seperti tubuh. Satu tubuh milik satu organisme terdiri atas tangan, perut, kaki, otak, jantung yang saling bekerjasama dan bersatu dalam satu wilayah.  Begitu pula sebuah politik; walaupun ada pemisahan kekuasaan, presiden dan hakim misalkan, jelas berbeda; tetapi tetap ada kesatuan, ada sistem yang saling berkaitan. Banyaknya individu, kelompok, dan kepentingan yang bermain politik, tetap juga ada pola teratur. Banyaknya irama, nada, dan ritme, tetap juga menghasilkan satu lagu.
Demokrasi terpimpin merupakan salah satu fase dalam rangkaian sejarah panjang Indonesia. Salah satu karang yang pernah dilalui arus riwayat politik Negara kita. Masa Demokrasi Terpimpin, yang bergandengan dengan Ekonomi Terpimpin, dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966. Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden ini sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin mengkhawatirkan. Tetapi di sisi lain, tindakan Soekarno ini dianggap menghilangkan salah satu sendi demokrasi, yaitu kebebasan partai.
Demokrasi Termimpin ini menarik untuk diamati, karena merupakan satu periode dalam sejarah Indonesia yang unik. Sistem politiknya juga perlu dilihat sekali lagi, karena Soekarno menutup napas politik beberapa partai dan seakan memanjakan PKI. Kebijakan politik luar negeri juga dipandang melanggar asas Bebas-Aktif. Bagaimana sistem politik, atau input-proses-output-input lagi, pada masa Demokrasi Terpimpin?



1.2 Rumusan Masalah

Terhadap latar belakang masalah diatas, maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah, diantaranya:
A.    Bagaimana konsep sistem politik?
B.     Apa itu Demokrasi Terpimpin?
C.     Bagaimana sistem politik pada masa Demokrasi Terpimpin?


1.3 Tujuan

Terhadap rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin di ketahui oleh penulis adalah, sebagai berikut :
A.    Memahami konsep sistem politik.
B.     Mengetahui pengertian “Demokrasi Terpimpin”.
C.     Memahami sistem politik pada masa “Demokrasi Terpimpin”.




BAB IIPEMBAHASAN


2.1 Konsep Sistem Politik

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) atau bahasa Yunani (sustēma), artinya suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang saling berinteraksi.[1]
Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah, seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara.[2]
Meriam Budiardjo meminjam istilah biologi untuk mengartikan sistem ini sendiri. Menurutnya sistem adalah bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling bergantung dan saling berinteraksi. Sedangkan menurut Sumantri, sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Apabila terjadi kerusakan pada salah satu bagian maka sistem atau seluruh bagian tidak akan dapat menjalankan tugas sepenuhnya.[3]
Kata politik berasal dari kata dalam Bahasa Yunani Kuno: Polis. Polis adalah pemukiman seukuran kota yang dianggap Negara dalam kebudayaan Yunani Kuno. Dengan politik sendiri berarti mempunyai hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, dan kekuasaan. Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi konsensus nasional, serta kemudian kekuatan masa rakyat.[4]
David Easton merupakan ilmuwan politik pertama yang menulis politik dalam istilah “sistem”  secara eksplisit. Dalam membangun pemikirannya, Easton dipengaruhi situasi dan pemikiran pada waktu itu. Pada masa itu ada semangat untuk membangun ilmu sosial sebagaimana ilmu eksakta, menjadi lebih measurable dan observable, alias pendekatan saintifik. Semangat tersebut dipengaruhi pandangan Auguste Comte dan Henri de Saint-Simon, yang dikenal dengan istilah Positivisme.
Ilmu Biologi klasik juga mempengaruhi Easton dalam menjelaskan analogi sistem sebagai satu organisme. Pemikiran Adam Smith juga berpengaruh besar ketika Easton membahas kelangkaan, kompetisi, maksimalisasi, juga tentang peran negara yang hanya sebagai “penjaga malam“ ; atau dalam istilah Easton hanya bertugas mengonversi input menjadi output.[5]
Input dalam bentuk tuntutan dan dukungan menjadi masukan sistem politik. Tuntutan dapat datang dari dalam sistem, dapat pula dari luar sistem. Setelah tuntutan dan dukungan diproses  dalam sistem politik, keluarannya disebut output, yang berkisar pada dua entitas, yaitu keputusan dan tindakan. Pada kondisi lebih lanjut, output memunculkan feedback (umpan balik), baik dari kalangan internal maupun lingkungan. Reaksi ini diterjemahkan dalam format tuntutan dan dukungan, lebih lanjut meneruskan kinerja sistem politik. Demikian proses kerja ini berlangsung secara siklis. Atau sederhananya :


Mengenai pembagian atau klasifikasi sistem politik, para tokoh banyak mengemukakan pendapatnya. Contohnya Ramlan Subakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, ia membagi sistem politik menjadi tiga, yaitu sistem politik tradisional, sistem politik totaliter, dan sistem politik demokrasi. Sedangkan Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews dalam Perbandingan Sistem Politik membagi sistem politik menjadi tiga; (1) sistem politik tradisional yang terdiri atas sistem politik patriachal, sistem politik patrimenial, dan sistem politik feodal; (2) sistem politik antara tradisional dan modern yang disebut dengan sistem politik kerajaan birokrasi; dan (3) sistem politik modern yang terdiri atas sistem politik demokrasi dan sistem politik kediktatoran (otoriter dan totaliter).

2.2 Demokrasi Terpimpin

Terbentuknya Demokrasi Terpimpin di Indonesia diawali pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno sebagai pemegang kekuasaan penuh pemerintahan karena pada masa sebelumnya, Demokrasi Parlementer, perpolitikan dalam negeri mengalami krisis politik dan kekacauan di berbagai bidang.[6]
Demokrasi terpimpin adalah reaksi terhadap demokrasi liberal/parlementer karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh kabinet yang bertanggungjawab kepada Parlemen, sedangkan anggota-anggota parlemen berasal dari berbagai partai.



[1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sistem diakses pada 6/12/2016.
[2] Ibid.
[3] Inu Kencana Syafiie dan Azhari. Sistem Politik Indonesia. (Bandung: Refika Aditama), hlm 4.
[4] Ibid, hlm. 6-7.
[5] Muslim Mufti, Teori-teori Politik, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 34.
[6] Abi Sholehuddin, Jargon Politik Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965, e-Jurnal Avatara, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2015),hlm. 1.
 


                                                         Oleh: Otman Abadika



Abstract:

Classical Islamic historiography are born from the womb of Islamic schools ofhistoriography in the early rise of Islam, as the flow of Yemen ,which is rooted in the saga, that is the tradition of the South Arabs of pre-Islamic, and Medina which flowbased method that focuses on the history of Isnad. This flow-oriented science of hadithand the flow of Iraqis who take the middle road between Medina and Yemenflowas well as trying to leave the influence of pre-Islamic. Iraq is the flow that became the forerunner of Islamic resurgence as a science of historiographyAlong with further development, the three streams are merged in the works of historians who are no longer identical to the one preceding the flow, but more diverse, both the pattern and style of language, which is accompanied by the methodology of historical research and criticism are increasingly complex.

Key words: Classical Islamic Historiographystyle, development

Pendahuluan
Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki metode sendiri, aspek penggunaan yang sangat banyak, dan memiliki sasaran yang mulia. Sejarah membuat kita paham akan hal ihwal bangsa-bangsa terdahulu, yang terrefleksi diri dalam perilaku kebangsaan mereka. Sejarah membuat kita mengetahui banyak hal, seperti biografi para nabi, negara, dan kebijaksanaan para raja. Penulisan sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam. Ia juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesalahan. Sebab, sejarah mendapat tempat yang amat penting dalam keilmuan Islam.[1] 
Historiografi Islam lahir dan berkembang dari masa ke masa yang tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik faktor budaya maupun yang lahir dari peradaban Islam itu sendiri. Hal ini, paling tidak mendorong lahirnya ragam aliran historiografi di masa awal kebangkitan Islam, yang kemudian mengalami peleburan dan melahirkan beragam corak dari historiografi Islam itu sendiri pada masanya. Berangkat dari hal di atas, perlu diadakan pembahasan sederhana dalam tulisan ini, guna menghantarkan pada pemahaman terhadap beberapa hal; pertama, mengenai aliran-aliran historiografi di masa awal kebangkitan Islam dan tokoh-tokohnya, kedua corak historiografi Islam klasik dan perkembangannya.    

Historiografi Pada Masa Awal Kebangkitan Islam
Menurut Husein Nassar,[2] jika diamati secara mendalam tentang perkembangan historiografi di awal kebangkitan Islam, maka akan terlihat adanya tiga aliran dengan jelas, yaitu aliran Yaman, aliran Madinah, dan aliran Irak. Akan tetapi, ada juga yang tidak memasukkan aliran Yaman sebagai aliran dalam historiografi Islam di masa awal Islam. Hal di ini didasari adanya anggapan bahwa karya-karya “sejarah” Yaman di awal masa kebangkitan Islam ini bercampur antara informasi historis dengan dongeng atau legenda, dan anggapan bahwa historiografi Yaman merupakan kelanjutan dari historiografi Arab pra-Islam, sebagaimana al-ayyam dan al-ansab.[3] Karena inilah kemungkinan besar pengamat historiografi Islam tidak memasukan aliran Yaman sebagai aliran historiografi Islam di masa awal Islam. Kalau diperhatikan juga, Husein Nassar tidak menyebutkan alasannya menempatkan “historiografi” Yaman ini sebagai salah satu aliran historiografi yang berkembang di masa awal kebangkitan Islam. Namun, Badri Yatim melihat ada pernyataan Husein Nassar yang menunjukkan, bahwa antara “historiografi” Yaman dan “historiografi” pra-Islam Arab Utara (al-ayyam dan al-ansab) terdapat perbedaan. Kalau al-ayyam dan al-ansab tidak tertulis dan ditransmisikan secara lisan, maka di Yaman meskipun bercampur dongeng, namun sejarahnya tertulis, dan jauh lebih kompleks dari sekedar al-ayyam dan al-ansab.[4] Kemungkinan ini adalah dorongan bagi Husein Nassar untuk memasukkannya sebagai aliran historiografi di masa awal kebangkitan Islam itu. 
Di samping perbedaan di atas, terdapat juga perbedaan pendapat dalam menempatkan tokoh dalam aliran, terutama pada aliran Madinah dan Irak. Akan tetapi mereka sepakat bahwa ketiga aliran itu dalam perkembangannya akan melebur menjadi satu, meskipun dengan corak dan tema yang semakin beragam. Perbedaan itu menurut Badri Yatim disebabkan karena mereka berbeda pendapat kapan dan pada tokoh mana peleburan itu terjadi. Seperti pendapat Muhammad Ahmad Tarhini dalam kutipan Badri Yatim, di antara sejarawan yang termasuk aliran Madinah adalah: Abdullah ibn Abbas (w.78 H),  Said ibn Musayyab al-Makhzuni (13-94 H), Aban ibn Utsman ibn Affan (w. antara tahun 95-105 H), Syurahbil ibn Sa’ad (w. 123 H), Urwah ibn Zubair ibn al-Awwam (23-94 H), Ashim ibn Umar ibn Qatadah al-zhafari (w.120 H), Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri (w.124), Musa ibn Uqbah (w. 141 H), Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar (w. 150 H), al-Waqidi (130-270 H), Muhammad ibn Sa’ad (168- 230 H).[5]        
Sementara itu Abdul Aziz Salim menempatkan Muhammad ibn Sa’ad sebagai sejarawan aliran Irak. Pendapat ini menurut Badri Yatim kemungkinan besar didasarkan pada kenyataan bahwa Muhammad ibn Sa’ad lahir di Irak. Sedangkan Muhammad Ahmad Tarhini menempatkannya dalam golongan sejarawan aliran Madinah, karena ia adalah seorang ahli hadits dan menganut metode hadits dalam penulisan sejarahnya, sebagaimana ciri yang dianut oleh aliran Madinah pada umumnya.[6] Berangkat dari perbedaan tersebut, yang lebih mendekati  substansinya adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ahmad Tarhini. Lain halnya dengan Husein Nassar, ia berpendapat bahwa semua aliran ini bertemu dan melahirkan Muhammad ibn Ishaq (w. 150 H), dengan alasan bahwa semua ciri dan tema yang sebelumnya membedakan satu aliran dengan aliran lain, terliput dalam karya sejarahnya. Padahal, sebagaimana pendapat Muhammad Ahmad Tarhini dan Abdul Aziz Salim di atas, Muhammad ibn Ishaq adalah seorang sejarawan berasal dari aliran Madinah. Meskipun Tarhini mengakui bahwa Muhammad Ishaq sudah melampaui batas-batas metodologi aliran Madinah. Begitu juga dengan Abdul Aziz, ia mengakui bahwa Muhammad ibn Ishaq banyak mengambil tulisan-tulisan sejarawan aliran Yaman sebagai sumber.[7] Dengan demikian ada kecenderungan Tarhini dan Abdul Aziz Salim membedakan ibn Ishaq dibanding dengan sejarawan Madinah lainnya. Dengan kata lain ada titik temu dari perbedaan tersebut untuk dikatakan kalau ibn Ishaq memang pionir bagi pertemuan tiga aliran sebagaimana dikehendaki oleh Husein Nassar. Berikut ini akan dijelaskan ketiga aliran historiografi di awal kebangkitan Islam tersebut satu persatu.
[1] Aliran Yaman. Yaman merupakan sebuah negeri yang terletak di bagian selatan Jazirah Arab, karena itu sering juga disebut sebagai Arab Selatan. Berbeda dengan Arab bagian Utara, negeri Yaman pernah mengalami kemajuan peradaban. Kalau penduduk Arab utara di awal kebangkitan Islam belum memperhatikan pentingnya tulis menulis, maka penduduk Yaman sejak lama sudah menulis peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Mereka juga telah mengenal kalender sejak tahun 115 SM. Tulisan-tulisan yang ditemukan di tempat-tempat peribadatan mereka sebelum Islam, yang terpenting adalah berita tentang runtuhnya bendungan Ma’arib, kerajaan Saba’ dan Ratu Bilqisnya, yang ada kaitannya dengan Nabi Sulaiman, tentang kerajaan Himyar, tentang penaklukan Habasyah (Ethiopia) atas Yaman, tentang serbuan Yaman (atas nama Habasyah) ke Mekah dengan tentara gajah pada tahun 571 M, dan tentang keberhasilan peperangan yang dipimpin oleh Sayf ibn Yaz al-Himyari dalam rangka mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman atas bantuan Persia.[8]
Berita-berita di atas, terutama yang berkembang pada masa Islam, di dalamnya bercampur antara yang faktual (historis) dan yang bersifat dongeng atau legenda. Munculnya hal semacam itu menurut Muhammad Ahmad Tarhini (dalam Badri Yatim), adalah akibat dari tingginya fanatisme kedaerahan orang-orang Yaman pada abad pertama hijriyah. Dengan legenda-legenda itu, mereka ingin memperlihatkan bahwa Arab Selatan lebih unggul dari pada Arab Utara, karena Nabi Muhammad saw. muncul di Hijaz, yang mana orang-orang Arab Utara dengan demikian merasa unggul dari Arab Selatan.[9] Jadi, yang mendasari lahirnya aliran historiografi Yaman pada mulanya adalah fanatisme kedaerahan, percampuran antara fakta historis dengan legenda atau dongeng sebagai buahnya.                                                                                 Riwayat-riwayat tentang Yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat atau cerita, sebagaimana al-ayyam dikalangan Arab Utara. Isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Hal ini adalah kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulisnya dijuluki tukang hikayat (narator), kitab-kitabnya disebut novel sejarah.[10] Di antara  penulis-penulis hikayat aliran Yaman ini yang banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya adalah: (1) Ka’ab al-Ahbar wafat pada tahun 32 H. pada masa khalifah Utsman ibn ‘Affan, ia meriwayatkan berita-berita dari kitab-kitab Israiliyyat (agama Yahudi). Ia dinilai oleh sejarawan Islam klasik sebagai sejarawan yang banyak memasukan mitologi dalam karyanya. (2) Wahhab ibn Munabbih wafat pada tahun 114 H, beliau adalah seorang narator yang terkenal tentang asal-usul Yaman dan jabatannya setingkat dengan qadhi. Dia banyak mempengaruhi penulisan sejarah Arab dalam banyak hal. Pertama, dia adalah seorang yang memperkenalkan kandungan kitab-kitab suci Yahudi dan asal mula Talmud dalam sejarah Islam. Kedua, dia mendalami cerita rakyat Yaman yang legendaris lalu ditranmisikannya untuk ahli tafsir dalam penafsiran al-Qur’an dan penulis-penulis maghazi. Dengan kata lain, ia adalah perintis penyusunan al-maghazi, yang berkembang di Madinah pada abad pertama hijrah.
Di antara jasa-jasanya juga adalah: (a) meriwayatkan sejarah bangsa Arab sebelum Islam, (b) meriwayatkan bangsa-bangsa non-Arab, terutama yang bersumber dari kitab suci Yahudi dan nasrani, (c) menciptakan kerangka sejarah para nabi, mulai dari nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad saw., dan (d) memasukan unsur kisah ke dalam lapangan sejarah. Di antara karya-karyanya adalah; ahadits al-Anbiya’ wa al-Ibad wa Ahadits Bani Israil (Berita tentang nabi-nabi, orang-orang saleh, dan Bani Israil), Qishah al-Anbiya’ (Kisah Para Nabi), Mubtada’ al-Khalqi (Awal Penciptaan), al-Mubtada’(Permulaan), dan Kitab al-Muluk al-Mutawajjah min Himyar wa Akhbaruhum wa Ghayr Dzalik ( Kitab tentang raja-raja bermahkota dari Himyar, sejarah mereka dan lain-lain). (3) ‘Abid ibn Syariyyah al-Jurhumi, dia hidup di dua masa; pra Islam dan masa Islam, pada masa awal dinasti Bani Umayyah; zaman Mu’awiyah dipercaya untuk menyelidiki dan memeriksa tentang ilmu bahasa, ilmu alam, dan geografi. Pada masa ini dia dihormati sebagai pakar sejarah dunia. Muawiyah merasa puas dengan ide-idenya, dan menyuruh wakilnya untuk menulis secara detil tentang Abid. Abid hidup sampai masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Di antara karyanya adalah, Kitab al-Amtsal (Cerita Alegoris), dan Kitab al-Muluk wa Akhbar al-Madhi ( Raja-raja dan Sejarah masa silam).[11]          
Dari uraian di atas, dapat dilihat betapa banyaknya jasa para sejarawan aliran Yaman ini bagi perkembangan historiografi Islam selanjutnya, walaupun banyak para pengkritik yang meragukan mereka untuk dijadikan sebagai sumber dalam historiografi Islam, sebab disinyalir banyak mengandung unsur mitologi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. 
[2] Aliran Madinah. Sebelumnya telah disebutkan, bahwa perkembangan sejarah di kalangan umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Perkembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam itu sendiri bermula di Madinah, sebab kota ini merupakan ibukota negara Islam pertama, dan dipandang sebagai “gudang” ilmu pengetahuan keagamaan Islam. Adapun ilmu pengetahuan keagamaan yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadits, karena melalui hadits inilah kaum muslimin pertama-tama mengetahui  hukum-hukum Islam, penafsiran al-Qur’an, sunnah Rasulullah dan para sahabat, keteladanan Rasulullah, dan lain sebagainya. Adapun perkembangan ilmu hadits ini berlangsung melalui periwayatan.[12]
Melalui perkembangan ilmu hadits itu, dikatakan sebagai cikal bakal dari penulisan sejarah. Dari penulisan hadits-hadits Nabi inilah, para sejarawan segera memperluas cakupannya hingga membentuk satu tema sejarah tersendiri, yaitu al-maghazi (Perang-perang yang dipimpin oleh Rasulullah), dan al-Sirah al-Nabawiyah (Riwayat Hidup Nabi Muhammad saw.)[13] Dapat dikatakan bahwa ilmu hadits adalah emberio bagi lahirnya historiografi Islam, sebab penulisan sejarah Islam yang pertama tentang al-Maghazimaupun Sirah al-Nabawiyah menggunakan prinsip yang ada dalam periwayatan hadits, yaitu isnad. Aliran Sejarah yang muncul di  Madinah ini kemudian disebut dengan aliran sejarah ilmiah dan mendalam.          
Adapun para sejarawan dalam aliran ini adalah: Abdullah ibn Abbas (w.78 H), Said ibn Musayyab al-Makhzuni (13-94 H), Abban ibn Utsman ibn Affan (w. antara tahun 95-105 H), Syurahbil ibn Sa’ad (w. 123 H), Urwah ibn Zubair ibn al-Awwam (23-94 H), Ashim ibn Umar ibn Qatadah al-zhafari (w.120 H), Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri (w.124), Musa ibn Uqbah (w. 141 H), Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar (w. 150 H), al-Waqidi (130-270 H), Muhammad ibn Sa’ad (168- 230 H).[14] 
Di antara sejarawan aliran Madinah yang telah disebutkan di atas, telah dikemukan sebelumnya bahwa ibn Ishaq tidak termasuk dalam aliran ini menurut Husein Nashshar[15], dan didukung oleh pernyataan Tarhini dan Abdul Aziz Salim sendiri, meskipun tidak secara tegas menyatakan bahwa ibn Ishaq bukanlah sejarawan aliran Madinah. Sedangkan Muhammad ibn Sa’ad menurut hemat penulis dapat dikatagorikan beraliran Madinah, meskipun ia sendiri lahir di Irak, sebab ia lama tinggal di Madinah dan salah seorang ahli hadits, yang tentunya memberi pengaruh bagi karya sejarahnya.
[3] Aliran Irak.             Aliran Irak adalah aliran yang terakhir kali lahir, yang meliputi Kufah dan Bashrah. Aliran ini lebih luas dibandingkan dengan dua aliran terdahulu, karena memperhatikan arus sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus, dan sangat memperhatikan sejarah para khalifah. Dalam karya-karya sejarawan aliran ini, pada umumnya sejarah Irak diuraikan lebih terperinci dan panjang, sedangkan mengenai kota-kota lain hanya sepintas saja.[16] Jadi, ciri khusus yang membedakan aliran Irak dengan kedua aliran sebelumnya adalah cerminan arus sejarah pra-Islam dan masa Islam, sangat memperhatikan sejarah para khalifah, dan penguraian sejarah Irak secara terperinci dan panjang.
Berdirinya kota Kufah dan Basrah merupakan keberhasilan dari ekspansi umat Islam di masa khalifah Umar ibn al-Khaththab. Bangsa Arab yang pindah ke Kufah dan Bashrah membawa adat istiadat Arab. Sebagaimana di Jazirah Arab, mereka di dua kota ini kembali hidup mengelompok berdasarkan kabilah dan klan. Di sini mereka menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang ada pada zaman pra Islam, seperti mendirikan pasar-pasar pagelaran puisi, di mana mereka dapat bersuka ria, berdiskusi, dan membangga-banggakan kabilah atau klan mereka.[17] Dengan demikian, kelahiran aliran Irak ini erat kaitannya dengan perkembangan budaya dan peradaban Arab. Perkembangan kebudayaan bangsa Arab itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial, dan budaya Islam yang tumbuh di Kufah dan Bashrah saat itu. Adapun cerita, hikayat, atau tradisi kabilah, sebagaimana al-Ayyam di masa pra Islam, diceritakan pada pertemuan suku, di majelis amir, bahkan juga di masjid-masjid kota.  Tema-tema pokok hikayat ini adalah pemujaan terhadap perjalanan kemajuan suatu suku. Hikayat ini dihargai sebagai warisan umum. Akan tetapi karena pengaruh keislaman mereka, warisan lisan di dua kota ini diperkaya dengan peristiwa-peristiwa dan nilai baru, seperti al-Futuhat(ekspansi), fanatisme politik kekabilahan yang diakibatkan oleh persaingan antar kabilah dalam mencapai kekuasaan, dan fanatisme kebangsaan yang muncul di daerah-daerah taklukan, terutama bangsa Persia yang bermukim di Irak.[18]  Inilah yang membedakan citra penulisan sejarah aliran Irak, dibanding masa pra-Islam, pada masa ini banyak unsur yang mewarnainya sebagaimana tersebut.         
Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah pembukuan tradisi lisan. Hal ini dilakukan pertama kali oleh Ubaidullah ibn Abi Rabi’, sekretaris Khalifah Ali ibn Abi Thalib ketika menjalankan kekhalifahannya di Kufah. Ia juga menulis buku berjudul Qadhaya Amir al-Mu’minin Alayh al-Salam (perkara-perkara Pengadilan Amirul Mukminin [Ali ibn Abi Thalib]), dan kitab Tasmiyah Man Syahad Ma’a Amir al-Mu’minin fi Hurub al-Jamal wa al-Shiffin wa Nahrawan min al-Shabah Radhia Allah ‘Anhum (Nama-nama para sahabat ra. yang bersama Amir al-Mukminin [Ali ibn Abi Thalib] ikut dalam perang-perang Jamal, Shiffin, dan Nahrawan). Dia dipandang sebagai sejarawan pertama dalam aliran Irak ini. Kemudian diikuti oleh Ziyad ibn Abih yang menulis buku yang berjudul Matsalib al’Arab.[19]
Kemudian pada abad kedua hijrah, mulai terlihat adanya perkembangan penulisan sejarah, karena banyaknya para ahli dalam bidang nasab (silsilah) mengenai kabilah-kabilah, mereka mulai menulis buku-buku yang memuat nasab, syair, dan kisah sebagian kabilah. Dan pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, para penguasanya sangat menekankan masalah arabisasi, hal ini mendorong kenyataan baru yang merupakan fenomena kebangkitan sastra dan pemikiran, khususnya yang berhubungan dengan syair-syair Jahiliyah dan adat istiadat Arab pra- Islam.[20] Dengan demikian terealisasi keinginan para penguasa Bani Umayyah untuk menciptakan Kufah dan Bashrah sebagai alternatif bagi Mekah dan Madinah di masa Jahiliyah.       
Heteroginitas di Kufah dan Bashrah mendorong bangsa Arab di sana untuk memelihara  nasab (silsilah) dan tradisi ayyam al-‘Arab, berkenalan dengan sejarah bangsa-bangsa non-Arab, di samping itu ilmu-ilmu al-qur’an, hadits, dan fikih. Sejalan dengan orientasi budaya penguasa Bani Umayyah, orang-orang Arab berusaha melestarikan nilai-nilai lama mereka yang diwariskan secara lisan, terutama al-Nasab dan Adab al-Ayyam.[21] Adapun usaha yang mereka lakukan melestarikan nilai-nilai luhur mereka itu dengan cara menuangkan hal itu dalam bentuk tulisan.
Selanjutnya mereka mempunyai perhatian terhadap peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masa kekhalifahan, baik pada masa khulafa’ al-Rasyidun maupun Bani Umayyah dan Bani Abbas. Untuk kepentingan ini mereka mencari bahan-bahan yang terkumpul di Madinah, di Irak dan Syria. Dari sumber-sumber seperti inilah para perawi dapat menemukan apa yang mereka cari.[22] Dari sini dapat diketahui, mereka sangat berjasa dalam rangka pengumpulan materi-materi sejarah, dan mendorong munculnya penulisan berkenaan dengan tradisi-tradisi dinasti.       Meskipun demikian, para sejarawan aliran Irak ini, tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh ilmu hadits. Mereka tidak mengabaikan peraturan isnad dalam tulisan mereka, sebab praktik penulisan sejarah pada saat itu berada di bawah pengaruh para ahli hadits. Meskipun demikian, aliran Irak ini menerapkan peraturan isnad dengan cara liberal. 
Kalau dilihat dari cakupan informasi dan subyek kajian, aliran Irak lebih luas dari kedua aliran sebelumnya, maka aliran ini dikatagorikan sebagai kebangkitan sebenarnya penulisan sejarah sebagai ilmu.[23] Sejarah pada masa ini mulai melepaskan diri dari pengaruh ilmu hadits, dan bersamaan dengan itu pula sudah ada upaya meninggalkan pengaruh pra-Islam yang banyak mengandung ketidak benaran. Aliran ini melahirkan sejarawan-sejarawan besar di masa kemudian, dan diikuti oleh hampir seluruh sejarawan yang datang di masa berikutnya.      
Para sejarawan aliran Irak jumlahnya banyak di samping Ubaidullah ibn Abi Rabi’ dan Zyad ibn Abih, yang terkenal adalah: Abu ‘Amr ibn al-‘Ala (w.51 H), Hammad al-Rawiyah (w.156 H), Abu Mikhnaf (w.157 H), ‘Awanah ibn al-Hakam (w.147 H), Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H), Nashr ibn Muzahim (w.212 H), al-Haitsam ibn ‘Udi (w. 207 H), al-Mad’ini (w.225 H), Abu ‘Ubaydah Ma’mar ibn Mutsni al-Taymi (w.211 H), al-‘Ashma’i (w.217 H), Abu Yaqzhan al-Nassabah (w.190 H), Muhammad ibn al-Sa’ib al-Kalibi (w.146 H), dan Hisyam ibn Muhammad al-Sa’ib al-Kalibi (w.204 H).[24] 

Corak dan Perkembangan Historiografi Islam Klasik
1. Historiografi Islam Pasca Ibn Ishaq.
Perkembangan historiografi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum. Adapun puncak dari perkembangan budaya itu terjadi pada masa dinasti Abbasiyah, tepatnya pada abad ke-9 dan ke-10 M. Seiring dengan itulah historiografi Islam yang sudah dimulai sebelumnya berkembang bersamaan dengan perkembangan penulisan hadits semakin pesat.[25] Aliran-aliran historiografi di masa awal Islam melebur dalam karya-karya sejarah ibn Ishaq, al-Waqidi, dan Muhammad ibn Sa’ad, para sejarawan bermunculan. Sebagaimana ahli hadits, para sejarawan giat melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu dan mengumpulkan informasi-informasi sejarah. Dalam rihlah ilmiah itu, terjadi dialog intelektual antara satu aliran dengan aliran lain, dan di samping banyak masukan-masukan wawasan yang mereka peroleh dari pengalaman pengembaraan intelektual itu. Hal inilah yang semakin mendorong berkembangnya penulisan sejarah. Meskipun aliran-aliran lama, aliran Yaman, aliran Madinah, dan aliran Irak dapat dikatakan lebur, namun corak penulisan sejarah bukannya menjadi satu, justru semakin beragam. Hanya saja para sejarawan tidak lagi mudah untuk dikatagorikan sebagai penganut satu aliran tertentu, karena seorang sejarawan dapat menulis  karya-karya sejarah dengan tema yang beragam dan dengan pendekatan yang berbeda.[26]Ketika itu, seorang sejarawan dapat menulis sejarah umum, tetapi pada saat yang lain dia juga menulis al-ansab dan al-sirah, dan bahkan corak-corak baru sesuai dengan kreasi yang mereka ciptakan.
Dengan ringkas dapat dikatakan, pada masa suburnya langgam bahasa yang digunakan semakin beragam, corak dan tema sejarah semakin banyak, dan metodologi penelitian dan kritik sejarah semakin kompleks. Di antara sejarawan besar pada masa ini sebagai berikut:[27]
[a] Ibn Qatadah al-Dinawari (w. 276 H/889 M). Pada masa Dinasti Bani Abbas, Sejarawan muslim mulai menulis sejarah umum, yang terpengaruh oleh contoh dari buku-buku sejarah Persia, seperti yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa’ (w. 140 H/757 M), yaitu kitab Siyar al-Muluk al-‘Ajam (Buku tentang Biografi Raja-Raja Persia). Buku sejarah umum tertua adalah karya Ibn Qatadah al-Dinawari, yaitu ‘Uyun al-Akhbar. Dia juga menulis buku sejarah yang bukan jenis ini, seperti Thabaqat al-Syu’ara (Tingkatan Para Penyair), Karya-karyanya secara keseluruhan sekitar 46 buku, di samping yang telah disebutkan di atas, adalah Kitab al-Ma’arif  (Buku tentang Pengetahuan), al-Imamah wa al-Siyasah (Kepemimpinan dan Politik). Dia adalah Sejarawan yang kritis terhadap sumber sejarah, yang mana dalam penulisan sejarah tidak hanya terbatas pada riwayat-riwayat lisan, tetapi juga buku-buku.
[b] Al-Ya’qubi (w. 284 H/897 M). Al-Ya’qubi adalah penulis sejarah yang sezaman dengan Ibn Qatadah al-Dinawari, nama lengkapnya adalah Ahmad Abi Ya’qub ibn Wadhi, tetapi lebih dikenal Al-Ya’qubi. Dia adalah seorang sejarawan pengembara, yang hidup di Baghdad pada masa pemerintahan Abbasiyah, al-Mu’tamid (870-892 M). Dia pernah melakukan pengembaraan panjang di Armenia, Transoksania (Asiah Tengah), Iran, India, Mesir, Hijaz, dan Afrika Utara. Dalam perjalanan ini dia berhasil mengumpulkan banyak informasi sejarah dan geografi.        
Dia mengarang banyak buku-buku, di antaranya; Kitab al-Buldan (Buku Negeri-Negeri), buku ini termasuk buku tertua dalam jenis geografi sejarah. Tarikh al-Ya’qubi yang terdiri dari dua jilid (jilid pertama tentang sejarah dunia kuno, dan jilid kedua tentang sejarah Islam yang disusun berdasarkan urutan khalifah), karya ini mencerminkan dominasi kronologi dalam penulisan, dan penyebutan sumber pengutipan. Di samping itu, ada juga karya singkatnya yang berjudul Musyakalat al-Nas li Zamanihim (Kesamaan Manusia pada Masa Mereka).
[c] Al-Baladzuri (w. 279 H/892 M). Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Ahmad bin Yahya bin Jabir bin Daud al-Baladzuri.  Dia dilahirkan di Baghdad pada akhir abad ke-2 H. Sejak usia muda ia senang mengembara untuk menuntut ilmu di beberapa negeri Islam. Di antara gurunya adalah Muhammad ibn Sa’ad. Hasil dari pengembaraannya ini dapat tercermin lewat karya sejarahnya Kitab Futuh al-Buldan (Buku Pembukaan Negeri-Negeri). Ia pergi ke Damaskus, Homs, dan Antokia.
Dia dikenal sebagai sejarawan istana, sebab banyak materi sejarah yang ditulisnya bersumber dari khalifah. Hubungannya dengan khalifah-khalifah Abbasiyah (al-Mutawakkil dan al-Mu’taz) sangat dekat, bahkan al-Mu’taz mengangkatnya sebagai pendidik bagi putranya yang bernama Abdullah. Sebagai ilmuwan produktif, dia meninggalkan banyak karya, di antaranya Kitab Buldan al-Shaghir (Buku Kecil Negeri-Negeri), Kitab Buldan al-Kabir (Buku besar Negeri-Negeri) yang belum selesai, Kitab al-Akhbar wa al-Ansab (Buku Sejarah dan Silsilah/Genealogi), Kitab Ansab al-Asyraf (Buku silsilah para Syarif), dan Kitab Futuh al-Buldan yang telah disebutkan di atas. Adapun karakteristik tulisannya yang tercermin dalam karyanya Futuh al-Buldan, dia tidak hanya memperhatikan faktor kronologi, tetapi juga faktor geografi negeri yang dimasuki Islam. Ia tidak lagi menggunakan metode hawliyyat, melainkan pendekatan tematik berdasarkan wilayah (negeri).
[d] Abu Hanifah al-Dinawari (w. 282 H/895 M). Nama lengkapnya adalah Abu Hanifah Ahmad bin Daud bin Wathan al-Dinawari. Di antara karyanya dalam bidang sejarah adalah Kitab al-Akhbar al-Thiwal (Buku Sejarah Panjang) dan Kitab al-Buldan(Buku Negeri-Negeri). Dalam Buku Sejarah Panjang, ia pertama-tama bercerita tentang kisah anak-anak Nabi Adam, para nabi sampai ke Nabi Ismail, secara ringkas. Kemudian memasuki sejarah Persia. Lalu memasuki sejarah Nabi Muhammad saw. Secara singkat. Setelah itu dia langsung membahas tentang ekspansi Islam  ke negeri Persia- sejarah para khalifah Abbasiyah hingga wafatnya al-Mu’tashim pada tahun 227 H.      
Adapun karakteristik tulisannya, hampir tidak menyebutkan sumber kutipan sama sekali dari informasi-informasi sejarah yang ia tulis. Dia hanya mengatakan di awal tulisannya “Saya mendapatkan dari beberapa buku-buku ilmiah tentang sejarah masa lalu”, kemudian ia memaparkan dengan metode naratif dengan bahasa yang jelas. Atau hanya sesekali ia menyebutkan nama-nama sejarawan  yang dikutipnya, seperti Ubayd bin Syariah al-Jurhumi, pengarang Kitab al-Muluk wa Akhbar al-Madhin (Buku Sejarah dan Sejarah Masa Silam), Ibn Kayyis al-Namri, al-Kalbi, al-‘Asma’i, al-Sya’bi, dan al-Haitsam bin ‘Adi.
[e] Al-Thabari (w. 310 H/922 M). Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, adalah seorang sejarawan besar muslim yang juga ahli dalam ilmu-ilmu; tafsir, qira’at, hadits, dan fiqh. Di antara karya sejarahnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk  (Sejarah Para Rasul dan Raja) dan Tarikh al-Rijal (Sejarah Para Tokoh). Metode penulisan sejarah yang dilakukan al-Thabari bersandar pada riwayat, sangat memperhatikan sanad, sistematika penulisan bersifat kronologi berdasarkan tahun, informasi yang disajikan bersifat umum, memasukan teks-teks sastra.
[f] Al-Mas’udi (w. 957 M). Nama lengkapnya Abu al-Hasan ibn Husayn ibn Ali, dia digelari oleh Ibn Khalikan oleh seorang sejarawan terkenal pada masanya sebagai imam al-mu’arrikhin (pemimpin para sejarawan). Adapun karyanya yang terkenal dalam bidang sejarah adalah Muruj al-Zhahab wa Ma’adin al-Jauhar dan al-Tanbih wa al-Isyraf, Berbeda dari buku-buku sejarah yang lain, dalam bukunya yang pertama termuat juga sejarah Hindu (India), Persia, Romawi, dan Yahudi. Sedangkan dalam kitabnya yang kedua berisi pendapat-pendapat filsafat sejarah dan hubungan antara hewan, tumbuh-tumbuhan, dan tambang. Di dalamnya juga terdapat sejarah klasik, sejarah Islam, dan negeri-negeri lain.     Di dalam kedua kitabnya di atas menurut Badri Yatim tergambar pembaharuannya dalam penulisan sejarah. Dia tidak lagi sekedar menyusun peristiwa-peristiwa berdasarkan kronologi, tetapi juga mengumpulkanya di bawah beberapa topik/judul, seperti bangsa-bangsa, raja-raja, dan keluarga-keluarga. Dalam penulisan sejarah, Al-Mas’udi menggunakan pendekatan tematik. Tema-tema bertolak dari bangsa-bangsa, raja-raja, dan dinasti-dinasti. Dalam pemaparan sejarah, dia menyajikan materi dengan menarik, diramu bersama peristiwa-peristiwa politik, peperangan, dan informasi tentang masyarakat dan adat istiadatnya, di samping pembahsan geografis. Dalam hal ini dia banyak diikuti oleh sejarawan yang datang kemudian, termasuk Ibn Khaldun.
Setelah para sejarawan di atas, dunia Islam terus melahirkan sejarawan-sejarawan besar, seperti Al-Biruni (362-448 H/973-1048 M)), Ibn Atsir (555-630 H/1160—1234 M), Ibn Khalikan (608-682 H/1211-1282 M), Al-Qazwani (600-682 H/1203-1283 M), Ibn Batutah (703-779 M/1304-1377 M), Ibn Khaldun (732-808 H/1333-1406 M), Al-Maqrizi (766-845 H/1364-1442 M), Al-Shakhawi (1427-1497 M), Ibn Hajar al-Asqalani (773-825 H/1372-1499 M), Ibn Ilyas (1448-1524 M), dan Al-Jabarti (1167-1240 H/1754-1825 M).[28]           


2. Perkembangan Corak Historiografi Islam Klasik
Kalau diperhatikan historiografi Islam mulai dari masa awal pertumbuhannya hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan besar, corak penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka menurut Badri Yatim dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu corak khabar, corak hawliyyat (kronologi berdasarkan tahun), dan corak maudhu’iyyat (tematik).[29] Ketiga corak historiografi ini akan dikemukakan berikut.
[1] Khabar.[30] Pada awalnya para sejarawan muslim menyandarkan penulisan sejarah pada riwayat, yang sebagaimana dalam penulisan hadits dengan menggunakan sanad. Beberapa ciri yang berkenaan dengan riwayat-riwayat itu adalah: a) antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan, masing-masing berdiri sendiri, b) riwayat itu ditulis dalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam bentuk dialog, c) riwayat-riwayat itu diselingi dengan syair yang seringkali digunakan sebagai penguat kandungan khabar itu.[31]
Setengah abad setelah wafatnya Rasulullah saw. Kaum muslimin belum melahirkan tradisi menulis. Pada masa itu riwayat berpindah dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi lisan. Tradisi lisan yang mengambil bentuk riwayat inilah yang pertama kali muncul. Para sejarawan mengumpulkan riwayat-riwayat itu dan menulisnya dengan bersumber  dari ingatan dan hapalan yang memang dari orang Arab yang dikenal kuat ingatannya. Baru pada abad ke-2 Hijrah, para sejarawan ada yang menulis karya sejarah yang bersumber kepada tulisan-tulisan para sejarawan sebelumnya.           
Pada awal kebangkitan sejarah ini, para sejarawan muslim secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari dari pengaruh penulisan hadits yang sangat kuat menggunakan sanad. Pada waktu sejarawan tidak lebih dari sekedar perawi dan menuliskannya dalam tulisan. Riwayat yang berdiri sendiri inilah dalam ilmu sejarah dinamakan dengan khabar.[32]           
Al-Thabari dan para sejarawan sebelumnya sangat memperhatikan persoalan sanadini. Baru setelah masa al-Thabari muncul para sejarawan yang meninggalkan penyebutan sanad dalam menulis sejarah. Mereka merasa cukup dengan hanya menyebut matan (teks) khabar-khabar itu di dalam tulisan-tulisan sejarah mereka. Diantaranya adalah al-Ya’qubi (w.284 H) dan al-Mas’udi (w. 346 H). Mereka menganggap cukup disebutkan sumber-sumber pengambilan data di pendahuluan karya-karya mereka, diikuti dengan kajian kritis terhadap sumber-sumber itu.[33]
[2] Hawliyyat.[34] Sebelum masa perkembangan historiografi Islam, para sejarawan menulis peristiwa-peristiwa sejarah itu secara acak dan tidak berurutan (kronologis), namun dalam masa selanjutnya para sejarawan kemudian menggunakan dua metode penulisan, yaitu (1) metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-tarikh al-hawli atau al-tarikh ‘ala sinin,  atau yang lebih singkat hawliyyat, dan (2) metode penulisan sejarah berdasarkan tema/ Maudhu’iyyat (tematik).Yang dimaksud dengan hawliyyat adalah metode penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan tahun demi tahun. Dalam metode ini, bermacam-macam peristiwa sejarah dihimpun di bawah “tema” tahun. Dalam metode ini peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi pada tahun tertentu dihubungkan dengan kata-kata wa fiha  (dan pada tahun itu juga). Apabila peristiwa-peristiwa pada tahun itu telah habis dipaparkan  sejarawan beralih ke tahun berikutnya dengan menggunakan kata-kata tsuma dakhalat sanah…(kemudian masuk tahun…) atau tsumma ja’a fi sanah… (kemudian terjadi peristiwa… pada tahun…). Dalam hal ini al-Thabari dipandang sebagai sejarawan muslim pertama yang menghasilkan metode hawliyyat; ia menulis dalam karyanya yang berjudul tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Para Raja), atau ikenal dengan judul lainnya yaitu Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Sejarah Umat dan Raja-raja). Akan tetapi Rosenthal meragukan hal itu, menurutnya sebelum al-Thabari sudah ada sejarawan muslim yang telah menggunakan metode ini, yaitu Abu Isa ibn Munajjim (w.279 H) dengan karyanya yang berjudul Tarikh Sinni al’Alam (Sejarah Dunia berdasarkan Tahun).[35]         Yang jelas, setelah masa al-Thabari, metode hawliyyat  ini banyak digunakan oleh sejarawan muslim, yang terkenal di antaranya adalah Miskawih, ibn al-Jawzi, ibn al-Atsir, Abu al-Fida’, dan al-Zhahabi.
[3] Maudhu’iyyat (Tematik). Metode maudhu’iyyat  ini muncul dari hasil kritik terhadap metode hawliyyat. Seorang sejarawan besar yang mengkritik metode ini adalah ibn Atsir al-Juzuri, yang bergelar ‘Izz al-Din (w.630 H). Ia melihat kelemahan pada metode hawliyyat yang memutus kontinuitas sejarah yang panjang yang saling berhubungan yang berkelanjutan dalam beberapa tahun. Para sejarawan yang memakai metode ini tidak menyebutkan peristiwa-peristiwa sejarah kecuali yang terjadi pada tahun bersangkutan dan berkelanjutan pada tahun-tahun berikutanya, maka dengan demikian peristiwa-peristiwa itu terpisah-pisah, informasi yang terpisah-pisah itu kemudian digabungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada tahun itu.[36] Dengan demikian, ibn Atsir berusaha menghindarkan diri dari kelemahan metode hawliyyat. Untuk itu ia menghimpun unsur-unsur peristiwa yang berkelanjutan dalam beberapa tahun, dan menghubungkan bagian-bagianya dalam satu tahun tertentu dalam satu tema, sehingga peristiwa itu menjadi jelas dan dapat dipahami. Unsur-unsurnya disusun secara kronologis dengan baik. Meskipun tidak semua peristiwa dapat dilakukan seperti itu. Kemudian ibn Atsir sangat memperhatikan kemudahan bagi para pembaca, yaitu dengan memberikan judul bagi tiap peristiwa-peristiwa yang menggambarkan isinya. Kadang-kadang peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi pada tahun yang sama dihimpun di bawah judul Dzikr ‘iddah al-Hawadits (tentang beberapa peristiwa lainnya) dan di akhirnya tentang riwayat hidup tokoh-tokoh yang meninggal dunia pada tahun tersebut.[37]
Penulis lainnya yang mengkritik metode hawliyyat adalah Syihab al-Din Ahmad ibn Abd al-Wahhab al-Nuwayri (w.723 H), ia menulis sejarah berdasarkan tema, sebagaimana karyanya tentang dinasti. Akan tetapi dalam menulis satu dinasti dia tetap menggunakan metode hawliyyat dalam memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dinasti itu. Setelah itu barulah ia beralih ke dinasti lain. Dia membagi sejarah Islam menjadi beberapa dinasti, dimulai dengan al-Sirah al-Nabawiyah (Riwayat Hidup Nabi saw.), Sejarah Khulafa’ al-Rasyidun, Sejarah Bani Umayyah, Sejarah Bani Abbas, dan Alawiyah, serta dinasti-dinasti kecil yang berdiri pada masa al-Khilafah al-‘Abbasiyyah.[38]          
Walaupun ibn Atsir dan al-Nuwayri melontarkan kritikan terhadap corak penulisan hawliyyat  dan mengajukan cara tematik sebagai alternatif, mereka berdua ini bukan sejarawan muslim pertama dalam Islam yang menggunakan corak penulisan sejarah secara tematik. Sebab jauh sebelum mereka berdua, telah ada sejarawan yang menggunakan metode ini, yaitu al-Ya’qubi (wafat di Mesir pada tahun 897 M) dan al-Mas’udi (w.957 M), mereka ini telah menggunakan corak tematik itu dalam karya-karya sejarahnya.[39] Lain halnya dengan apa yang telah diungkapkan Badri Yatim di atas. Mu’in Umar mempunyai pendapat lain tentang jumlah bentuk atau corak dasar historiografi Islam. Menurutnya ada lima bentuk atau corak[40], yaitu khabarhawliyyat (analistik), Dinasti[41]Thabaqat[42], dan Nasab[43]. Di dalam buku pengantarnya, Mu’in Umar mengatakan bahwa ketiga bentuk historiografi (Dinasti,Thabaqat, dan Nasab) adalah bentuk kecil mengenai periodisasi Sejarah.[44]
Berangkat dari karya-karya sejarah yang telah dihasilkan oleh para sejarawan muslim dari awal masa kebangkitan Islam hingga masa perkembangannya telah melahirkan keragaman historiografi dalam Islam, yang menurut Mu’in Umar dapat dikelompokkan ke dalam tiga karya sejarah yaitu; sejarah umum (seperti karya Al-Ya’qubi Tarikh Al-Ya’qubi), sejarah lokal atau regional (seperti karya Al-Mafarruhi Mahasin Ishbahan), sejarah kontemporer dan memoar (seperti karya mengenang kemenangan-kemenangan masa klasik yang mana penulis mempersonifikasikan diri dengan keluarga Barmak,[45] atau semua hasil karya sejarah, penulis mempergunakan sejarah masa lalu sebagai latar belakang masa sekarang. Sedangkan memoar seperti karya Usamah ibn Munqiedz Al-‘Itibar.[46]

3. Perkembangan Langgam Bahasa dalam Historiografi Islam
Kalau dilihat dari segi teknik penulisan, penulisan sejarah terus mengalami perkembangan, demikian pula dalam bidang langgam bahasa yang digunakan. Pada awalnya karya-karya sejarah, sebagian besarnya, menghimpun khabar-khabar itu dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu sama lainnya. Dalam perkembangannya, langgam bahasa sejarah menjadi bebas, sederhana, jelas, hampir-hampir tidak ada lagi syair di dalamnya.[47]Banyak juga yang menggunakan sajak (kalimat-kalimat yang digunakan di dalamnya bersajak) dalam tulisan sejarah, meskipun sejarah sama sekali bukan cabang dari sastra yang biasanya menggunakan sajak. Di antara para sejarawan yang terkenal banyak menggunakan sajak dalam karya-karya sejarahnya adalah al-Imad al-Ashbihani, dan al-Fath ibn Khaqan berasal dari Andalusia.[48] Ada juga yang menggabungkan antara prosa dan kalimat-kalimat bersajak, seperti Abu Marwan Hayyan ibn Khalaf yang dikenal dengan ibn Hayyan (w.460 H), seorang sejarawan muslim asal Andalus. Sementara yang lainnya dalam karya sejarahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sederhana, dan berusaha menghindari bahasa yang dibuat-buat agar enak didengar dan lafal-lafal yang berbelit-belit. Diantara mereka ini adalah ibn Atsir dan Thaba’thaba’i. Bagi mereka yang terpenting adalah jelasnya materi sejarah dengan kalimat-kalimat pendek yang pengertiannya jelas dan cepat dipahami oleh pembaca. Sedangkan pada masa-masa akhir,  tulisan-tulisan sejarah banyak di rasupi oleh kata-kata asing atau logat-logat daerah tertentu. Pada abad ke-9 dan ke-10 H, logat-logat daerah semakin banyak ditemui.[49]       
Di antara sejarawan yang banyak memasukan bahasa-bahas asing dan logat-logat daerah itu adalah ibn Ilyas (w.930 H), ia berasal dari Mesir, hal ini terdapat dalam karyanya yang berjudul Bada’i al-Zuhur fi Bada’i al-Duhur, dan Abu Mahasin ibn Taghri Bardi juga asal Mesir dalam karyanya yang berjudul al-Nujum al-Zhahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah, ibn al-Furat dalam karyanya Tarikh al-Duwal wa al-Muluk.[50] 
Dapat ditarik benang merah, bahwa historiografi Islam klasik pada masa perkembangannya terdapat corak langgam bahasa, di antaranya; langgam bahasa bebas, sederhana, jelas, dan hampir tidak ada lagi syair di dalamnya, menggunakan sajak, menggabungkan antara prosa dan kalimat-kalimat bersajak, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sederhana, dan berusaha menghindari bahasa yang dibuat-buat agar enak didengar dan lafal-lafal yang berbelit-belit,  dan ada juga yang memasukan bahasa-bahasa asing dan logat-logat daerah dalam penulisa sejarah tersebut.

Penutup
Historiografi Islam klasik merupakan mata rantai dari aliran-aliran historiografi Islam di awal masa kebangkitan, yaitu aliran Yaman, aliran Madinah, dan aliran Irak. Aliran Irak pada fase selanjutnya menjadi cikal bakal kebangkitan historiografi sebagai sebuah bangunan Ilmu. Pada masa perkembangannya, ketiga aliran itu melebur dalam karya-karya sejarawan yang tidak lagi identik dengan salah satu aliran tersebut, melainkan semakin beragam coraknya maupun langgam bahasa yang dipergunakan, dan sudah lazimnya juga diiringi oleh perkembangan metodologi penelitian dan kritik sejarah yang semakin kompleks pula.
Historiografi Islam klasik memiliki tiga corak  berdasarkan bentuk dasarnya, yaitukhabar, analistik atau historiografi yang mempergunakan kronologis (hawliyyat), dan Maudhu’iyyat, yaitu historiografi yang bersifat tematis. Kemudian dari bentuk yang ke-tiga (maudhu’iyyat) inilah berkembang, ada yang dinamakan historiografi dinasti, thabaqat, dan nasab (susunan geneologis). Dan bila menilik langgam bahasa yang digunakan, setidaknya ada lima jenis langgam, yaitu; 1) langgam bahasa bebas, sederhana, jelas, dan hampir tidak ada lagi syair di dalamnya, 2) menggunakan sajak, 3) menggabungkan antara prosa dan kalimat-kalimat bersajak, 4) menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sederhana, dan berusaha menghindari bahasa yang dibuat-buat agar enak didengar dan lafal-lafal yang berbelit-belit,  dan 5) yang memasukan bahasa-bahasa asing dan logat-logat daerah.  




Referensi


Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota  Kembang, 1989.

Hitti, K. Philip. Sejarah Ringkas Dunia Arab. Yogyakarta : Pustaka Iqra, 2001.

Kartodirdjo, A. Sartono. Lembaran Sejarah. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1970.

Su’ud, Abu. Islamiologi, Sejarah, Ajaran, dan perannya dalam peradaban umat manusia.Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Umar, A. Muin. Pengantar Historiografi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

----------. Historiografi Islam, Jakarta: Rajawali, 1988.

Yatim, Badri. Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

----------. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999.

Pedersen, J. Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman, Bandung: Mizan, 1996.


[1]Su’ud, Abu, Islamiologi, Sejarah, Ajaran, dan perannya dalam peradaban umat manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 7.
[2]Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 45.
[3]Ibid.
[4]Badri Yatim, Historiografi., h. 46. Al-Ayyam adalah cerita-cerita yang menggambarkan tentang peristiwa peperangan antar kabilah yang disajikan dalam bentuk puisi dan prosa. Al-Ansab adalah berita tentang  silsilah atau garis keturunan, keduanya merupakan tradisi Arab pra Islam. Lihat Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 10
[5]Badri Yatim,Historiografi Islam, h. 45.
[6]Ibid., h. 45.
[7]Ibid., h. 47-48
[8]Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam, h. 8-10.
[9]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 49
[10]Ibid.
[11]Ibid., h. 52.
[12]Muin Umar, Historiografi Islam, h. 29.
[13]Ibid., h. 12-15.
[14]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 56.
[15]Husein Nashshar berpendapat bahwa pada karya Ibn Ishaq mencerminkan peleburan ketiga aliran historiografi awal kebangkitan Islam (Aliran Yaman, Madinah, dan Baghdad).
[16]Badri Yatim, Historiografi…,  h. 69.
[17]Ibid., h. 70.
[18]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 70.
[19]Ibid., h. 70-71.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid., h. 73.
[23]Ibid.
[24]Ibid., h. 74.
[25]Ibid., h. 91.
[26]Muin Umar, Historiografi Islam, h. 29, lihat juga Pengantar…., h. 7, dan Badri Yatim Historiografi Islam, h. 100.
[27]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 92-100.
[28]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 92-100.
[29]Ibid.
[30]Khabar adalah bentuk historiografi Islam yang paling tua, yang langsung berhubungan dengan cerita-cerita perang dengan uraian yang baik dan sempurna yang biasanya mengenai sesuatu kejadian yang kalau ditulis hanya beberapa halaman saja. Di dalam kontek sejarah yang lebih luas perkataan khabar sering dipergunakan sebagai laporan, kejadian, atau cerita. Karakteristik khabar terletak pada penekanan pada garis sanad. Lihat Mu’in Umar, Historiografi Islam, h. 29
[31]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 101.
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]Menurut Mu’in Umar disebut analistik, yaitu bentuk khusus penulisan sejarah dengan mempergunakan kronologis berdasarkan tahun. Penyajian sejarah dalam bentuk ini berkembang pada masa Al-Thabari. Lihat  Mu’in Umar, Historiografi Islam, h. 33.
[35]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 103.
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[38]Ibid., h. 110.
[39]Badri Yatim, Historiografi Islam, h. 110.
[40] Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam, h. 29-54.
[41]Salah satu bentuk atau corak historiografi yang disusun secara analistik yang erat kaitannya dengan kekuasaan khalifah-khalifah atau penguasa-penguasa lainnya. Seperti karya Ibn Ishaq Tarikh al-Khulafa’, karya Al-Ya’qubi seperti Akhbar al-Thiwal, dan Al-Baladzuri Ansab al-Asyraf. Lihat Mu’in Umar, Historiografi Islam, h. 44-48.
[42]Thabaqah berarti lapisan, yaitu transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas di dalam penggantian kronologi generasi mudah untuk dilakukan. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti mengenai thabaqah. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun, ada juga yang menyatakan lamanya 10 tahun. Seperti karya Al-Zhahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqat Masyahir al-‘Alam, Abu Ishaq Al-Syirazi Thabaqat al-Fuqaha, dan lain-lain. Lihat Mu’in Umar, h. 49-50. 
[43]Nasab adalah corak sejarah yang berhubungan dengan garis keturunan keluarga atau kabilah tertentu. Seperti karya Al-Baldzuri Kitab al-Ansab meskipun didominasi oleh biografi para khalifah. Lihat Mu’in Umar, h. 55-59.
[44]Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam, h. 7.
[45]Pada masa Dinasti Abbasiyah jabatan wazir yang berasal dari Persia mulai diperkenalkan, dan Khalid al-Barmaki memangku jabatan ini untuk pertama kalinya. Selanjutnya jabatan ini dijabat oleh keturunannya, sehingga roda pemerintahan praktis dibawah keluarga ini, karena mereka mendapat kepercayaan  dari khalifah sebagai wazir dengan wewenang yang tidak terbatas. Pada masa Harun al-Rasyid jabatan ini ditarik kembali, dengan alasan agar tidak terjadi dualisme kekuasaan dalam pemerintahan. Lihat Mu’in Umar, Pengantar Historiografi Islam., h. 125. 
[46]Muin Umar, Pengantar…, h. 87-128.
[47]Badri Yatim, Historiografi Islam h. 111.
[48]Ibid., h. 112.
[49]Ibid.
[50]Ibid.