Kamis, 08 Juni 2017

Faktor-faktor Penyebab Aufklarung

FAKTOR PENYEBAB AUFKLARUNG
Oleh: Muhammad Irham


Aufklarung atau Aufklärung berasal dari Bahasa Jerman, yang berarti pencerahan atau enlightenment. Kata Aufklärung secara istilah merujuk pada pergerakan intelektual yang mendominasi benua Eropa pada Abad ke-18, yang juga bisa disebut Age of Enlightenment atau Age of Reason di Inggris, dan le Siècle des Lumières di Prancis.[1] Singkatnya, Aufklarung juga bisa disebut Abad Pencerahan.
Para sejarawan Prancis menempatkan Abad Pencerahan antara tahun 1715 M, tahun kematian Louis XIV, dan 1789 M, tahun dimulainya Revolusi Prancis. Filsafaat berkembang pesat di Inggris dan Irlandia di Abad ke-18.[2] Setelah paruh kedua Abad ke-17 dan sepanjang Abad ke-18, rasionalisme dan sekularisme dengan cepat menggulingkan hegemoni agama.[3]


[1]Michael Frassetto. Encyclopædia Britannica. (Chicago: Encyclopædia Britannica Inc, 2015).
[2] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[3] Jonathan I. Israel, Radical Enlightenment, (Oxford: Oxford University Press, 2002).



1.1 Faktor-faktor Penyebab Aufklarung
a)A.    Renaissance dan Revolusi Ilmu Pengetahuan
Revolusi Ilmu Pengetahuan (Scientific Revolution) merupakan suatu revolusi yang menandakan bangkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa mengenai cara berpikir keilmiahan. Revolusi ilmu pengetahuan adalah sebuah revolusi mengenai perubahan cara berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi dirinya. Perubahan persepsi manusia tersebut adalah perubahan dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir matematis-mekanis. Cara berpikir ontologis adalah warisan yang ditinggalkan bangsa Eropa ketika Abad Pertengahan, masa besarnya pengaruh Agama Kristen di segala bidang, termasuk kegiatan ilmu pengetahuan. Saat Renaissance, manusia tidak lagi menjadi citra tuhan, tetapi manusia juga memiliki rasio atau logika manusia serta kreativitas dan keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaan manusia. Pengetahuan dilandaskan rasionalisme dan empirisme yang berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam kajiannya.
download Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment disini
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia yang terpusat pada kekuataan akal serta budi manusia. Pada masa Renaissance dibangun kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang berlandaskan rasionalisme dan empirisme. Berbagai karya seni (seni lukis, pahat, dan arsitektur) yang indah lagi radikal di saentro daratan Eropa menandai bangkitnya bangsa Eropa untuk menguasai dunia seni maupun ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh pembaharu humanis, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo, Nicholas Copernicus, Keppler dan Galileo Galilei sangatlah termasyur dengan karya-karya seni dan penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Fenomena alam, sosial budaya dipelajari, diamati secara cermat untuk kemudian dimanfaatkannya. Dari upaya yang cukup lama dan tak kenal lelah itulah, maka berkembang ilmu-ilmu pengetahuan alam seperti Fisika, Biologi, Kimia, Kedokteran dan lain-lain. Semua ilmu-ilmu itu berkembang hingga melahirkan Aufklarung alias pencerahan di Abad ke-18.
Abad Pencerahan didahului dan berhubungan erat dengan Revolusi Ilmu Pengetahuan.[1] Prestasi-prestasi di bidang ilmu-ilmu alam dari zaman Nicholas Copernicus (1473–1543) hingga Isaac Newton (1642–1727) merubah seluruh pandangan manusia mengenai alam semesta dan cara memahaminya.
Newton sendiri dipengaruhi pendekatan ilmiah yang telah memusim Inggris selama beberapa dasawarwa, yakni pendekatan ilmiah Descartes yang telah memberi bentuk pada Abad ke-17, sehingga disebut Abad Revolusi Ilmu Pengetahuan, sebuah masa perubahan sains secara fundamental dimana teori-teori tradisional digantikan dengan teori-teori baru atau ditransformasikan secara radikal.[2] Newton berjasa membawa ide-ide Descartes ke Abad XVIII.

B.     Penerbitan Principia karya Newton Newton
Pandangan Copernicus mengenai gerak Bumi dan tata surya yang heliosentris diperkuat dengan observasi teleskop Galileo di tahun 1609, tetapi semua itu masih belum cukup untuk menggantikan dominasi Fisika Aristotelian. Teori Heliosentris kemudian diperkuat René Descartes dan semakin lengkap dengan kehadiran Newton.[3] Penerbitan Principia karya Newton pada 1687 memberikan pemahaman mendasar dalam konsep-konsep fisika.[4] Karya Newton ini naik daun karena menjelaskan hukum-hukum gerak dan Teori Gravitasi. Newton menganggap ilmunya ini memberi metode paling ampuh dalam penyelidikan dunia fisik. Dia sendiri dipengaruhi pendekatan ilmiah yang telah memusim Inggris selama beberapa dasawarwa.
Buku Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica alias Principia dianggap sebagai buku paling berpengaruh sepanjang sejarah sains. Buku ini meletakkan dasar-dasar mekanika klasik. Dalam karyanya ini, Newton menjabarkan hukum gravitasi dan tiga hukum gerak yang mendominasi pandangan sains mengenai alam semesta selama tiga abad. Newton berhasil menunjukkan bahwa gerak benda di Bumi dan benda-benda luar angkasa lainnya diatur oleh sekumpulan hukum-hukum alam yang sama. Ia membuktikannya dengan menunjukkan konsistensi antara hukum gerak planet Keppler dengan teori gravitasinya. Karyanya ini membuat keraguan para ilmuwan akan heliosentrisme menjadi sirna dan memajukan revolusi ilmiah.
Dalam bidang mekanika, Newton mencetuskan adanya prinsip kekekalan momentum dan momentum sudut. Dalam bidang optika, ia berhasil membangun teleskop refleksi yang pertama dan mengembangkan teori warna berdasarkan pengamatan bahwa sebuah kaca prisma akan membagi cahaya putih menjadi warna-warna lainnya. Ia juga merumuskan hukum pendinginan dan mempelajari kecepatan suara.
Sedang di bidang matematika pula, jasa Newton begitu besar. Ia mengembangkan kalkulus diferensial dan kalkulus integral. Newton menganggap ilmunya ini memberi metode paling ampuh dalam memahami dunia fisik, yakni metode berpikir matematis-mekanis. Sejak itulah ilmu pengetahuan berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam kajian-kajian ilmiah Newton.
Cara berpikir matematis-mekanis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Newton ini menjadi semacam gaya para intelektual untuk membuat analisis dalam penelitiannya. Pendekatan yang bersifat kuantitatif, dibawah naungan hukum kausalitas, yang didukung dengan percobaan atau eksperimen melalui usaha uji coba model tiruan dari objek yang sesungguhnya membuat para peneliti dapat mengembangkan penelitiannya dengan lebih sempurna.
Akibat dari perjalanan proses revolusi ilmu pengetahuan, memunculkan adanya nilai-nilai dasar yang tampil dalam perubahan cara berpikir manusia. Nilai-nilai dasar itu adalah nilai alam, budaya dan ekonomi.

C.     Pertentangan antara filsuf rasionalis dengan filsuf empiris
Secara etimologis, rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism, yang akarnya dari bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. Bagus menambahkan rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.[5]
Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan yang sependapat dengan pemikiran-pemikiran Plato, mereka secara kolektif disebut rasionalis atau platonis. Para platonislah yang berjasa besar dalam Enlightment di Inggris.[6]
Dalam pembahasan tentang perjalanan teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati tempat yang penting. Paham ini dikaitkan dengan filsuf-filsuf rasionalis abad ke-17 dan ke-18, seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran filsuf klasik misalnya Plato. Descartes sendiri dianggap sebagai filsuf modern pertama, dan dia berpandangan bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan dari pikiran atau jiwa sebelum pengetahuan dari objek-objek fisik.[7] Descartes mengatakan bahwa, “jika Socrates berkata bahwa ia meragukan semua hal, itu artinya ia memahami paling tidak satu hal, yaitu bahwa ia sedang ragu“.[8]
Empirisme secara etimologis berasal dari bahasa Yunani empeiria yang artinya “berpengalaman dalam”. Empirisme juga dapat dimaknai aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan ataupun parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.[9]
Selanjutnya secara terminologis, definisi empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah sumber pengetahuan, dan bukan persepsi dalam otak.
Filsuf empiris yang sangat populer adalah David Hume. Dalam A Treatise of Human Nature, yang dipublikasikan sebelum dirinya berusia 30 tahun, Hume berkata bahwa ia akan menggunakan metode eksperimen dalam mengembangkan sains. Metode eksperimen dianggapnya kontras dengan metode-metode lain.[10] Hume banyak dipengaruhi Locke dan Berkeley.
Filsuf-filsuf pra-Aufklarung yang pengaruhnya begitu besar diantaranya Francis Bacon, René Descartes, John Locke, dan Baruch Spinoza. Pemikiran-pemikiran mereka dibawa ke Abad XVIII oleh Isacc Newton, David Hume, Voltaire, Jean-Jacques Rousseau, dan Adam Smith. Tetapi filsuf Aufklarung terbesar tetaplah Immanuel Kant.



[1] I. Bernard Cohen. Scientific Revolution and Creativity in the Enlightenment. (1982).
[2] G. H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. IV: The Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[3] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[4] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[5] Bagus L., Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[6] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Volume V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[7] G. H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Volume IV: The Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[8] G. H. R. Parkinson (ed.), Routledge History of Philosophy Volume IV: The Renaissance and Seventeenth-century Rationalism. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).
[9] Bagus L., Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[10] Stuart Brown (ed.), Routledge History of Philosophy Vol. V: British Philosophy and the Age of Enlightenment. (New York: Taylor & Francis Group, 2004).

1 komentar: