SEJARAH KERAJAAN SUNDA DAN GALUH
1.1 Latar Belakang
Setelah
mangkat, Sang Linggawarman digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa,
sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan nama nobat: Sri Maharaja Tarusbawa
Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa, pada tahun 669 M. Tarusbawa, dengan
ini menjadi raja Sunda pertama.
Pengangkatan Tarusbawa ini ditentang Wretikandayun. Ia
kemudian memisahkan diri dan mendirikan Kerajaan Galuh. Wilayah Sunda dan Galuh
dibatasi Sungai Citarum.
Diantara kedua kerajaan masih sering terjalin hubungan yang
baik. Salah satunya lewat perkawinan. Hubungan yang kurang baik justru datang
dari timur. Rombongan bangsawan Galuh yang mengantar Dyah Pitaloka untuk
menikah dengan raja Majapahit Hayam Wuruk berselisih paham dengan Mahapatih
Gajah Mada. Akibatnya, pasukan Gajah Mada segera menyerang rombongan tersebut.
Perang ini dikenal dengan Perang Bubat. Seluruh anggota rombongan terbunuh, tak
terkecuali Dyah Pitaloka.
Pada
masa pemerintahan Wastukancana, agama Islam mulai masuk ke bumi Galuh, tepatnya
dari daerah Cirebon dan Karawang. Bahkan berdiri pula Kerajaan Talagamanggung
yang bercorak Budha.
Makalah
ini berusaha menguraikan sejarah berdirinya Kerajaan Sunda dan Galuh, proses
Perang Bubat, kepercayaan yang dianut masyarakat Galuh, dan peninggalan-peninggalan
Kerajaan Galuh.
2.1 Berdirinya
Kerajaan Sunda dan Galuh
Sang Nagajaya, raja Tarumanagara kesebelas,
setelah memerintah dengan bijaksana, akhirnya mangkat di tahun 588 Saka/666
Masehi. Ia digantikan oleh anaknya, Sang Linggawarman. Sang Linggawarman, raja
Tarumanagara keduabelas, memerintah selama kurun 666-669 M.
Setelah mangkat, Sang Linggawarman digantikan
oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara,
dengan nama nobat: Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya
Sundasembawa, pada tahun 669 M.
Sang Tarusbawa bukanlah keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura),
sebagai raja keturunan pribumi di daerah Sundapura. Setelah naik tahta, ia memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura dan mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda.
“Galuh” adalah sebuah kerajaan, yang wilayahnya
terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai
Cipamali di sebelah timur, sebagai penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah
kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam
naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai ketika Sang Kandiawan,
pemimpin Kerajaan Kendan, yang telah memerintah selama lima belas tahun,
memilih menjadi seorang petapa. Selanjutnya, kekuasaan ia wariskan kepada putra
bungsunya yaitu Sang Wretikandayun.[1]
Tarusbawa naik tahta, dan
kebijakannya memindahkan pusat Tarumanagara
ke
Sundapura berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, atau
Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612 M), memilih untuk memisahkan diri. Adapun
untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum
sebagai batasnya.
Walaupun sudah
berbagi kekuasaan dengan Sang Wretikandayun, Sang Tarusbawa masih sempat
memberitakan penobatannya sebagai penerus tahta Tarumanagara, ke berbagai
negara sahabat. Oleh sebab itulah, dalam sumber Cina
yang terakhir, menyebutkan "ada utusan dari Tarumanagara pada tahun 669 Masehi".
Sebelumnya, Wretikandayun,
demi menjauh dari pengaruh Tarumanagara, memilih memindahkan pusat kerajaan ke
sebuah tempat yang dinamai Galuh, artinya permata.[2] Galuh berada di lahan yang diapait oleh Sungai
Cimuntur dan Citanduy. Lokasi bekas Galuh tersebut, sekarang dikenal sebagai
Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Pada masa
Wrettikandayun, Kerajaan Galuh berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum.[3] Setelah 90 tahun memerintah, Wrettikandayun
mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia menjadi Raja Resi di Mendala
Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan Rahiangtarimenir setelah dirinya
wafat pada tahun 702 Masehi dalam usia 111 tahun.[4]
Wrettikandayun
mempunyai tiga putera; Sempakwaja, Jantaka, dan Mandiminyak. Setelah Wretikandayun
mengundurkan diri, tahta Galuh ia diserahkan kepada si bungsu, Amara alias Mandiminyak.
Amara berarti laki-laki pesolek. Dengan wajah tampan dan ketiadaan cacat fisik orang, seperti kedua kakaknya, cocoklah Wandiminyak
menjadi raja.[5]
Kerajaan Galuh pada masa
Mandiminyak, memerintah di Galuh dari tahun 702-709 masehi. Ia memerintah dalam
usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan Dewi Parwati, dari Kalingga, dan
dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Dewi Sannaha. Kemudian
Mandiminyak memiliki seorang anak yang bernama Bratasena atau Sena sebagai
hasil hubungan gelap dengan Pohaci Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya
yaitu Sempakwaja. Sena dan Dewi Sannaha oleh Mandiminyak dikawinkan, padahal
keduanya berasal dari dua ibu namun satu ayah. Perkawinan ini dinamakan
perkawinan manu.
Pasangan tersebut
dikaruniai anak yang diberi nama Jambri, atau lebih dikenal dengan sebutan
Sanjaya. Setelah dewasa Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda karena menikah
dengan Taju Kencana, cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan,
sekitar Bogor sekarang. Taju Kencana dirawat oleh kakeknya seperti anak sendiri
karena putranya meninggal sebelum naik tahta.
Setelah Mandiminyak
mangkat, tahta Galuh diserahkan kepada Bratasena atau Sang Sena. Ia memerintah
di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Pengangkatan Sena, yang merupakan
hasil hubungan gelap Mandiminyak dengan Pwah Rarabu, ternyata telah menimbulkan
iri Pubasora, putra Sempakwaja. Menurutnya, ia yang paling berhak atas tahta
Galuh mengingat ia lebih tua dari Sena.
Pada tahun 716 Masehi
terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan
kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya
seperti kerajaan Indraprahasta di Cirebon. Mengingat Purbasora sudah menjadi
menantu dari Padmahariwangsa, penguasa Indraprahasta.[6]
Menyadari kedudukannya
terancam, Sena meminta bantuan Tarusbawa dari Sunda yang sudah menjadi
sekutunya. Tetapi pasukan yang dipimpin Purbasora ternyata lebih dulu tiba di
Galuh dibandingkan pasukan Sunda. Sena sudah kalah dan tersingkir ke Kalingga
Utara. Sejak itu, tahta Galuh berada di tangan Purbasora, antara tahun 716-723
Masehi.
Setelah Purbasora
memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh
Sanjaya. Sanjaya adalah anak dari Bratasena atau Sang Sena. Sebagai penguasa
Sunda, Sanjaya bisa dengan leluasa
memimpin pasukan dan menyerang Galuh secara mendadak, sehingga keraton
dengan mudah dikuasainya. Purbasora dibinasakan oleh Sanjaya, yang berhasil
merebut Kraton Galuh dalam waktu hanya satu malam.[7] Saat itu
usia Purbasora 80 tahun.
Sanjaya berkuasa di
Galuh dari tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas
para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah
melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan
Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya
kembali ke Galuh bersama pasukannya.
Setelah melakukan
penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempakwaja di Galunggung. Sanjaya meminta agar
Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Sempakwaja menolak
permintaan itu. Namun karena pertimbangan kekuasaan Galuh harus berada di
tangan keturunan Wretikandayun, ia mengajukan Premana Dikusuma, cucu dari
Purbasora.
Untuk menjaga
kepentingannya di Galuh, Sanjaya menempatkan putranya, Tamperan Barmawijaya
sebagai patih. Tujuannya tidak lain adalah untuk memata-matai gerak-gerik
Premana Dikusuma. Untuk tujuan yang sama Sanjaya mengirimkan Dewi Pangrenyep
dari Sunda sebagai selir Premana Dikusuma. Tetapi, saat anak pertamanya yang
bernama Ciung Wanara baru berumur lima tahun, Premana Dikusuma memilih
melakukan tapa.
Pada waktu Premana
Dikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang
jabatannya sebagai patih Galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia
menghianati Premana Dikusuma, dengan cara berbuat tidak senonoh dengan
Pangrenyep, yang merupakan selir Premana Dikusuma. Hubungan Tamperan dan
Pangrenyep semakin hari semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap
itulah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga. Tamperan
membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Premana Dikusuma
yang sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Premana Dikusuma oleh
orang suruhan Tamperan.
Ketika Manarah atau Ciung
Wanara berusia 22 tahun, tepatnya tahun 739 M, ia bersama pasukannya dari Geger
Sitambah dan pasukan yang masih setia kepada mendiang ayahnya, menyerang
kerajaan Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika sedang berlangsung pesta
penyabungan ayam. Ketika itu Manarah ikut serta menyabungkan ayamnya.
Tamperan dan Pangrenyep
berusaha menyelamatkan diri ke hutan, disusul putranya, Banga. Akan tetapi
pasukan Manarah tidak memberi kesempatan sedikitpun, mereka menghujani hutan
dengan panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Banga dan Manarah pun
bertarung dengan sengit. Selama berhari-hari tidak tampak siapa yang akan
menang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya Resiguru Demunawan turun
tangan dan berhasil melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak
diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa wilayah
bekas Tamperan dibagi menjadi dua yaitu, Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung
Wanara atau Manarah, sedangkan kerajaan Sunda di serahkan kepada Rahiang Banga. Sedangkan Sanjaya tetap memerintah di Jawa Tengah. Untuk
memperkokoh kesepakatan tersebut, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit
Demunawan.[8]
Perang
Bubat
Bagaimana sebenarnya Perang Bubat yang membuat
kerajaan Galuh dan Kerajaan Majapahit bermusuhan? Padahal sebelum peristiwa itu
kedua kerajaan saling menghormati dengan tidak menyerang wilayah masing-masing.
Gajah Mada merupakan tokoh sentral yang mengantarkan
Majapahit ke puncak kejayaan dibawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Ia berhasil
menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara, sebagian besar lewat peperangan,
namun tidak demikian dengan Galuh.
Hayam Wuruk yang lajang ingin memperistri putri Sunda
yang tersohor cantik jelita, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ketika hari perkawinan
semakin dekat, raja, beserta para pembesar, dan pastinya Dyah Pitaloka, sang
mempelai, berangkat ke Bubat, sebuah kota dalam wilayah Majapahit menggunakan
kapal.
Setibanya di tempat yang dituju, kedua belah pihak
mengalami kesalahpahaman yang berakibat fatal. Mahapatih Gajah Mada merasa
keberatan menyambut rombongan dari Kerajaan Galuh karena ia menganggap Putri Citraresmi
akan “dihadiahkan” kepada Raja Hayam Wuruk. Sebaliknya, di lain pihak, Raja
Galuh dan rombongannya bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu
telah “dipinang” oleh Hayam Wuruk beberapa waktu sebelumnya. Apalagi Prabu
Linggabuana merasa Galuh bukan bawahan Majapahit.
Perbedaan pendapat
ini kemudian memuncak setelah utusan Sunda yang bernama Prabu Anapaken
mencela sikap Gajah Mada tersebut. Sebelum ada perintah dari Hayam Wuruk, Gajah
Mada sudah menyerang dari arah utara. Para Ksatria Galuh pastinya berusaha
mempertahankan diri. Namun, karena tujuan awal mereka memang bukan untuk
berperang, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak. Mereka terdesak. Para
Ksatria tersebut, Prabu Linggabuana, Larang Agung, Tuan Sohan, Panji Melong,
dan lain-lain, satu per satu gugur.
Hayam Wuruk begitu menyesal. Pasca Bubat, Majapahit
tidak pernah menyerang Galuh. Galuh tidak pernah menjadi bawahan Majapahit.
Prabu Linggabuana hanya memerintah selama 7 tahun
(1350-1357 M). Selama berkuasa ia dikenal sebagai raja yang adil lagi
bijaksana. Ia dijuliki Prabu Siliwangi atau Prabu Wangi. Sepeninggalnya, tahta
Galuh diwariskan kepada Prabu Niskala Wastukancana dengan dibawah perwalian
Bunisora karena dia masih dibawah umur. Setelah lebih 14 tahun berada dibawah
perwalian Bunisora, Wastukancana naik tahta. Ia termasuk raja yang berumur
panjang dan memerintah dalam waktu lama, yaitu 1371-1457 M.
Wastukancana dinobatkan menjadi raja Galuh pada usia
23 tahun. Ia dikawinkan dengan Mayangsari, putri sulung Bunisora. Tetapi
sebelumnya, Wastukancana sudah menikah dengan Dewi Sartika, putri Resi Susuk
Lampung dari Sumatera.
Mayangsari menempati Keraton Surawisesa di Galuh, sedangkan
Dewi Sartika di Keraton Pakuan di Bogor sekarang. Dari Mayangsari, Wastukancana
dikaruniai empat putra, yaitu Ningrat Kancana, Ki Gedeng Sindangkasih,
Surawijaya Sakti atau Ki Gedeng Singapura, dan Ki Gedeng Tapa. Sementara dari
Dewi Sartika dikaruniai putra yang bernama Sang Haliwungan.
Kepercayaan Masyarakat Galuh
Para raja
dan masyarakat kerajaan Galuh, sebelum kedatangan Islam adalah pemeluk agama
Hindu, tetapi dengan unsur pribumi yang kuat.
Nampaknya
penggeseran agama orang Sunda sudah dimulai pada masa pemerintahan Sanjaya
(723-32). Menjelang penyerahan kekuasaan kepada anaknya, Rahyang Tamperan,
Sanjaya menganjurkan agar anaknya beralih agama, karena dengan agama yang
dianutnya saat itu, Sanjaya hanya menyebabkan orang menjadi takut. “Jangan
mengikuti agamaku karena dengan itu aku ditakuti banyak orang” sebagaimana
yang dicatat dalam Carita Parahyangan.[9]
Dari
naskah-naskah lama yang berbahasa Sunda dapat diketahui bahwa orang Sunda pada
masa lampau sangat mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
keagamaan, kebudayaan, dan akhlak. Hampir semua naskah menitiberatkan uraiannya
kepada segi kerohanian, bukan kepada hal-hal yang lebih bersifat jasmani. Dalam
empat buah naskah, yaitu naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, naskah Sewakadarma,
naskah Kaih Paningkes, dan naskah Jatiniskala, misalnya pembicaraan mengenai
segi-segi ruhani itu sangat menonjol, sedangkan yang berifat jasmani hanya
disampaikan sekedar sebagai pengetahuan umum.[10]
Dari
uraian mengenai masyarakat Sunda sebelum Islam berdasarkan naskah-naskah nampak
bahwa pengetahuan tentang keadaan masyarakat Sunda Galuh khususnya, di masa
lampau masih sangat sedikit dikarenakan kelangkaan sumber. Dalam kaitannya
dengan masyarakat Sunda Galuh di masa lampau khususnya pada masa sebelum Islam
diperlukan telaah lebih lanjut.[11]
Pada
masa pemerintahan Wastukancana, agama Islam mulai masuk. Bahkan di wilayah
Talaga (sekarang termasuk kabupaten Majalengka) berdiri Kerajaan Talagamanggung
yang bercorak Budha.
Prabu
Bunisora, selain menjadi mertua Wastukancana, juga menjadi tonggak keberagaman
agama di Galuh. Putranya yang kedua, Bratalegawa, menjadi penganut Islam yang
pertama di Galuh dan dijuluki Haji Purwa. Artinya haji yang pertama. Ia dikenal
pula dengan Haji Bahrudin.
Bratalegawa
dilahirkan pada 1272 Saka (1350 M). Bratalegawa memilih menjadi saudagar. Ia
menjadi kaya berkat kegigihannya dan hubungannya dengan bangsa-bangsa lain.
Dalam
sebuah pelayaran dagang, ia singgah di Gujarat. Di negeri ini ia bertemu wanita
setempat yang bernama Farhana binti Muhammad. Setelah menikah ia kembali ke
Galuh dan mencoba mengislamkan adiknya, Banawati, tetapi gagal.
Masih
dalam usaha mengambangkan Islam, Bratalegawa dan istrinya pindah ke Cirebon.
Pasangan ini dikaruniai anak bernama Ahmad yang kelak dikenal dengan Maulana
Safiudin. Bersama anaknya yang menginjak remaja, Bratalegawa dan istri kembali
ke Gujarat. Disana, Ahmad dijodohkan dengan Rogayah binti Abdullah. Pasangan
ini kemudian dikaruniai seorang putri yang bernama Hadijah.
Putri
semata wayang ini kemudian dijodohkan dengan seorang saudagar kaya di Gujarat.
Perkawinan ini tidak berlangsung lama karena sang suami meninggal dan
meninggalkan banyak harta warisan.
Berbekal
warisan dari suaminya, Hadijah mengikuti permintaan ayahnya agar pergi ke
Cirebon. Ia menetap di Pasambangan, kini termasuk Cirebon Utara. Saat itu
Cirebon sudah berkembang menjadi bandar yang maju. Wastukancana menempatkan
anak-anaknya di Cirebon. Putranya, Ki Gedeng Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa
ditempatkan menjadi jurulabuan (Syahbandar) Muarajati.
Setelah
berada di Cirebon, Hadijah menikah dengan ulama Syekh Datuk Kahfi. Berkat
kekayaannya ia mendirikan pesantren di Amperan Jati. Pesantren ini merupakan
yang tertua kedua di negeri Galuh setelah pesantren yang didirikan oleh Syekh
Hasanuddin, ulama asal Campa. Syekh Hasanuddin dijuluki Syekh Quro karena ia
adalah penghapal al-Qur’an.[12]
Suaranya pun sangat merdu sehingga banyak orang tertarik. Bahkan salah seorang
santrinya adalah Nyi subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa, jurulabuan Muarajati sekaligus putra
dari Wastukancana.
“Kawali”
dalam bahasa Sunda berarti periuk. Kawali juga merujuk pada salah satu
kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dalam catatan sejarah,
kota kecil ini pernah menjadi pusat Kerajaan Galuh. Kerajaan ini pernah mengalami
masa kejayaan saat dibawah pemerintahan Prabu Wastukancana (1371-1457 M).
Prabu
Wastukancana adalah raja yang meninggalkan banyak prasasti sebagaimana
ditemukan di situs Astana Gede Kawali. Situs ini terletak di Dusun Indrayasa,
Desa Kawali. Prasasti di situs ini pertama kali ditemukan Thomas S. Raffles
pada 1871 M.
a.
Prasasti Kawali I
Mengungkapkan
usaha yang dilakukan Prabu Wastakuncana selama memerintah Galuh.
b.
Prasasti Kawali II
Prasasti Kawali II ditemukan tidak jauh dari
Prasati Kawali I, bertuliskan yang artinya “semoga mereka yang kemudian mengisi
negeri Kawali ini dengan kebahagiaan dengan membiasakan diri berbuat
kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang”.
Yang menarik,
prasasti-prasasti di Astana Gede ditulis dalam bahasa dan aksara sunda. Atas
dasar itu, Richadia Kartakusuma menyimpulkan, Wastukancana adalah raja Sunda
yang menjadi pelopor terwujudnya asara Sunda.
oleh: Arus. Bandung, 9 Juni 2017
[1] Her
Suganda, Kerajaan Galuh: Legenda, Takhta, Wanita, (Bandung: PT Kiblat
Buku Utama, 2015), hlm. 15-16.
[2] Ibid,
hlm. 17.
[3] Yoseph
Iskandar, Sejarah Jawa Barat, Bandung: Penerbit Gegersunten, hlm. 108.
[4] Ibid,
hlm. 118.
[5] Her
Suganda, Op.Cit, hlm. 28.
[6] Ibid.,
hlm. 34.
[7] Yoseph
Iskandar, Op.Cit.
[8] Her
Suganda, Op.Cit, hlm. 46.
[9] Atja, Tjarita
Parahiyangan, (Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1967).
[10] Ibid,
hlm. 33.
[11] Hartati
(ed.), Serat Siksa Kanda Karesian, (Jakarta: Dapatermen Pendidikan dan
Kebudayaan , 1993), hlm. 37.
[12] Her
Suganda, Op.Cit, hlm. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar